Subuh itu di Pelabuhan Sedili, Johor Bahru, kami sedang menunggu kapal yang akan menjadi 'rumah' kami selama 3 hari ke depan siap. Saya memilih ikut Pak Fendi dan Pak Arman ke sebuah warung. Niatnya hanya ingin memesan secangkir kopi sekadar untuk menyegarkan mata yang mulai terasa berat.

Di atas meja ada beberapa jenis gorengan, dan satu jenis penganan terbungkus daun pisang yang sekilas penampilannya mirip botok.

"Kamu harus cuba yang ini, Dee.." Pak Fendi menunjuk penganan yang terbungkus daun pisang itu.

"Apa ini, Pak?"

"Itu namanya nasi dagang. Makanan khas dari Terengganu. Cubalah!" Jawab Pak Fendi seraya mengambil sebungkus nasi dagang dan meletakkan di hadapan saya.

"Tapi saya masih kenyang, pak.." teringat sepiring nasi dengan lauk lele goreng yang tadi saya makan dalam perjalanan menuju ke Sedili ini.

"Cuba sebungkus saja.."

Saya yang dasarnya emang mudah tergoda oleh yang namanya makanan, tanpa ragu langsung membuka daun pisang pembungkus nasi dagang. Penampakannya sederhana. Hanya nasi putih dengan lauk ikan berbumbu. Hmmm... aroma nasi yang gurih bercampur santan berpadu dengan wangi dari daun pisang, seketika membuat saya lupa dengan sepiring pecel lele yang baru beberapa jam lalu mengisi lambung saya.

Saya menyendok sesuap. Enak! Nasinya terasa gurih karena dimasak dengan santan. Lauknya juga enak, ikan tongkol berbumbu yang kalo saya bilang rasanya mirip sarden. Perpaduan gurihnya nasi dan ikan tongkol berpadu dengan aroma wangi daun pisang sungguh membuat saya lupa bahwa baru beberapa menit yang lalu saya mengaku kenyang.

"Kenapa namanya nasi dagang, Pak?" tanya saya pada pak Fendi.

"Nasi dagang, nasi yang dibawa berdagang..." jawaban pak Fendi terasa menggantung.

"Maksudnya, Pak?"

"Iya, nasi dagang ini dulu awalnya dijadikan bekal oleh para pedagang. Membuatnya mudah, dan nasi ini pun bisa tahan hingga sore hari. Kerana itu lah disebut nasi dagang." Pak Fendi menjelaskan.

Saya mengangguk mafhum sambil melanjutkan hingga suapan terakhir. Setelah habis sebungkus, tanpa ragu saya pun mengambil bungkusan kedua dan memakannya kembali dengan lahap.

"Tadi katanya kenyang..." Pak Arman yang sedari tadi diam tiba-tiba meledek saya.

Saya cuma bisa nyengir, kemudian kembali asik dengan nasi dagang di hadapan saya.


Itu adalah sepenggal kisah yang terjadi 6 tahun lalu di sebuah warung kecil tak jauh dari Pelabuhan Sedili. 6 tahun berlalu dan saya masih bisa mengingat jelas rasa, bahkan aroma wangi dari nasi dagang yang saya makan pagi itu beserta cerita di balik nama si nasi dagang.

Kini, setelah 6 tahun berlalu, ternyata saya masih bisa menikmati nasi dagang di rumah makan yang menjual makanan khas Kepulauan Anambas. Dari beberapa rumah makan yang pernah saya coba, di Anambas Kopi Tiam inilah saya seolah menemukan kembali sensasi rasa yang dulu pernah saya nikmati dalam sebungkus nasi dagang.

Saya tak bisa cukup hanya makan sebungkus nasi dagang. Selalu ada bungkusan kedua yang mengikuti. Apalagi kalau ditemani dengan luti gendang dan segelas teh tarik. Hmmm... sungguh! Ini adalah perpaduan yang sempurna.


Tertarik ingin mencoba nasi dagang juga?
Dateng aja ke Anambas Kopi Tiam di Komplek Palm Spring Blok A2 no 9-10, Batam Center.