Lampung Krakatau Festival 2016 | Satu Kisah yang Terlalu Manis untuk Disimpan Sendiri
Friday, September 02, 2016
Jam 6 pagi itu, Sabtu 27 Agustus 2016, suasana di sekitar Lapangan
KORPRI kompleks perkantoran gubernur Provinsi Lampung masih sepi. Hanya ada
beberapa orang panitia dan tiga buah bus besar berwarna biru. Sepertinya
rombongan kami datang kepagian :D Dan berhubung masih sepi, kami pun asik
foto-foto dengan background baliho Lampung Krakatau Festival 2016 yang
terpasang mentereng di ruas jalan W.R. Monginsidi.
Oiya, saya belum memperkenalkan orang-orang yang jadi teman seperjalanan saya kali ini. Ada mbak Katerina dan Arie Ardiansyah dari Jakarta, Atanasia Rian aka Barbie dari Jogja, Haryadi Yansyah dan M. Rahman Arif aka Maman dari Palembang, mas Hari JT dari Babel, kak Rosanna Simanjuntak dari Balikpapan, Indra Pradya dari Lampung, juga teh Lina Sasmita dan saya sendiri dari Batam. Sebut saja kami rombongan TBC (Travel Blogger Cheboox..!)
Genk TBC dinner di Kedai Aceh
Kami ber-10 ini adalah para blogger yang beruntung karena mendapat undangan resmi dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung untuk menyaksikan dan mengikuti rangkaian event Lampung Krakatau Festival 2016. Undangan untuk kami disampaikan lewat mas Yopie Pangkey, seorang blogger dan fotografer senior Lampung pemilik akun @kelilinglampung_ yang sudah sejak tahun 2012 lalu ikut terlibat dalam perhelatan Lampung Krakatau Festival.
Selain kami ber-10, masih ada 10 blogger lain yang merupakan
undangan dari pihak EO Dyandra Promosindo (EO yang ditunjuk oleh Disparekraf
Lampung untuk meng-handle event Lampung Krakatau Festival 2016). Dari 10 orang
blogger yang diundang EO, saya cuma tau 5 di antaranya. Mereka adalah Farchan
dan Takdos yang merupakan juri dari lomba blog bertema Lampung the Treasure of Sumatra, beserta 3 orang
pemenang dari lomba tersebut (Retno, Deasy, dan Lidya yang menggantikan mbak
Indah Nuria yang tidak bisa berangkat ke Lampung karena beliau sedang berada di
New York).
Rangkaian event Lampung Krakatau Festival 2016
Lampung Krakatau Festival ini merupakan sebuah event yang rutin
diselenggarakan untuk memperingati letusan Gunung Krakatau pada tanggal 26-27
Agustus 1883 lalu. Dan festival Krakatau ini telah menjadi event tahunan
Provinsi Lampung sejak tahun 1990. Namun, baru sejak tahun 2014-lah para
peserta Festival Krakatau diijinkan untuk menjejak bahkan mendaki Gunung Anak
Krakatau (GAK), meski hanya sampai sadel saja.
***
Setelah berfoto dengan bermacam pose berlatar baliho Lampung
Krakatau Festival 2016, kami pun diarahkan untuk masuk ke dalam bus nomor 1. Sambil
menunggu bus berangkat, kami asik menikmati bekal nasi goreng dari Inna Eight, hotel
tempat kami menginap. Iya, demi bisa sampai tepat waktu di lokasi meeting point, mas Yopie meminta pihak
hotel untuk membungkuskan sarapan kami. Mas Yopie tidak ingin kami terlambat.
Karena berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, acara Lampung Krakatau Festival
selalu tepat waktu.
Mumpung masih sepi.. Foto-foto duluuu...
30 menit berlalu, dan kami masih harus menunggu. Seorang
panitia yang memperkenalkan diri dengan nama Rahmi membagikan kertas berisi rundown acara. Saya dan teman-teman cuma
bisa nyengir sambil saling melempar pandangan mesra. Dua poin pertama
sudah meleset dari rencana. Kalau mengikuti apa yang tertera di rundown tersebut, pukul 06.30 harusnya
semua bus sudah berangkat menuju dermaga. Tapi nyatanya?
Rundown by EO Dyandra Promosindo
Jam 7 lewat, akhirnya bus besar yang kami naiki pun bergerak
meninggalkan Lapangan KORPRI meski tempat duduk di dalam bus itu masih banyak
yang kosong. Bus besar itu jadi semakin terasa lapang.
Bus membelah jalanan dari Bandar Lampung menuju ke Pantai
Sari Ringgung, tempat dimana kapal-kapal yang akan membawa para peserta Lampung
Krakatau Festival 2016 sudah menunggu. Perlu waktu sekitar 40 menit perjalanan
untuk sampai di Pantai Sari Ringgung. Saya memilih untuk melanjutkan tidur. Suara
pak Agus Salim yang kebagian menjadi pemandu di bus kami pun hanya sayup-sayup
saja saya dengar. Dan rupanya saya tidak tidur sendiri. Dari video yang direkam
Maman terlihat seisi bus kompak tertidur. Untung pose tidurnya pada
manis-manis. Gak ada yang mangap apalagi sambil ngilerrr...
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana para peserta
Lampung Krakatau Festival diberangkatkan dari Pelabuhan Canti di Kalianda - Lampung
Selatan, tahun ini para peserta akan diberangkatkan dari Pantai Sari Ringgung di
Pesawaran. Ini akan memangkas waktu tempuh perjalanan darat yang biasanya perlu
waktu sekitar 2 jam menjadi sekitar 40 menit saja. Tapi dengan demikian,
perjalanan di laut akan lebih lama, perlu waktu sekitar 2,5 sampai 3 jam
mengarungi lautan sebelum sampai di Gunung Anak Krakatau. Tak mengapa. Karena
menurut informasi yang kami terima dari mas Yopie, tahun ini kapal yang
digunakan adalah jenis kapal cepat milik Pemda Lampung. Bukan kapal kayu
seperti tahun-tahun sebelumnya.
Disambut dan Dilepas di
Pantai Sari Ringgung
Puluhan perahu nelayan yang telah dihias meriah menjadi
sambutan menarik di Pantai Sari Ringgung pagi itu. Tapi kami masih belum bisa
langsung menaiki perahu-perahu itu. Karena kami masih harus menunggu entah apa
atau siapa.
Perahu hias di Pantai Sari Ringgung
Kak Rosanna dan Maman sudah asik foto-foto di sekitar
pantai. Chemistry di antara mereka
rupanya sudah terbangun sejak di dalam bus tadi, hehehe... Saya, Indra dan teh
Lina memilih berjalan menuju salah satu warung yang ada di kawasan Pantai Sari
Ringgung. Rupanya mas Yopie dan mas Hari JT sudah lebih dulu ngopi di sana. Gak
lama teman-teman yang lain pun menyusul ke warung. Tak semuanya memesan minuman,
hanya sekadar menumpang duduk sambil ngobrol-ngobrol untuk membunuh waktu.
Tepat ketika kopi di gelas saya ludes, terdengar panggilan
untuk semua peserta Lampung Krakatau Festival agar berkumpul di tepi dermaga. Setelah
mendengarkan sedikit sambutan dari bapak Adeham - asisten Gubernur Lampung, dan
doa bersama, barulah semua peserta dipersilakan naik ke perahu hias.
Sayangnya urutan kedatangan bus tidak menjadi urutan untuk naik ke perahu. Kami yang berada di bus nomor 1, dan menjadi rombongan pertama yang tiba di Pantai Sari Ringgung harus mundur, karena yang dipersilakan naik ke perahu terlebih dulu adalah mereka yang naik bus nomor 4. Btw, tadi di Lapangan KORPRI kayaknya gak ada bus ke-4 deeh... Apa mungkin bus nomor 4 itu sudah menginap di Sari Ringgung ya? Makanya dikasih kesempatan untuk naik perahu terlebih dulu? *grin...
Yang bertopi hitam adalah asisten Gubernur Lampung di sebelahnya adalah ibu kadispar
Sayangnya urutan kedatangan bus tidak menjadi urutan untuk naik ke perahu. Kami yang berada di bus nomor 1, dan menjadi rombongan pertama yang tiba di Pantai Sari Ringgung harus mundur, karena yang dipersilakan naik ke perahu terlebih dulu adalah mereka yang naik bus nomor 4. Btw, tadi di Lapangan KORPRI kayaknya gak ada bus ke-4 deeh... Apa mungkin bus nomor 4 itu sudah menginap di Sari Ringgung ya? Makanya dikasih kesempatan untuk naik perahu terlebih dulu? *grin...
Foto bareng sebelum berangkat. Foto pinjem dari travelerien.com
Bu Kadispar Lampung dikerubungi awak media
Kapal Fiber vs Kapal
Kayu
Tiba giliran kami naik ke perahu. Satu hal yang langsung
menarik perhatian saya adalah, ternyata perahu-perahu ini tak hanya dihias
meriah. Namun juga memperhatikan standar keselamatan. Perahu kecil ini
dilengkapi dengan life jacket yang
kondisinya masih terlihat baru. Eh, tapi bukan perahu kecil ini loh yang akan
mengantar kami ke Krakatau. Perahu kecil ini hanya perantara yang akan
mengantar kami ke kapal besar yang sudah menunggu di tengah laut. Kapal-kapal
besar itu tidak bisa merapat ke pantai karena perairannya terlalu dangkal.
Bergerak meninggalkan Pantai Sari Ringgung
Perahu kecil kami merapat di masjid terapung Al Aminah. Tak
sampai 2 menit kami singgah di sini. Duh.. andai diberi waktu sedikit lebih
lama berada di masjid ini, rasanya saya ingin menunaikan sholat Tahiyatul
Masjid. Ingin merasakan bagaimana rasanya sholat di masjid yang terapung di
tengah lautan.
Masjid terapung Al Aminah
Rupanya tidak semua perahu hias diberi kesempatan singgah di
masjid terapung. Beberapa perahu langsung disuruh menuju kapal yang sudah
menunggu di tengah laut. Entah apa alasannya. Mungkin panitia sedang mencoba
berkejaran dengan waktu. Agar apa yang sudah mereka susun dalam rundown acara bisa terlaksana semua.
Termasuk berkeliling Pulau Sebesi. *lirik Indra :D
Singgah sebentar di sini
Kami naik lagi ke perahu hias. Sebuah kapal berwarna putih
bertuliskan Teluk Lampung terayun anggun dipermainkan ombak. Kapal inilah yang
akan mengantar kami ke Krakatau. Para penumpang dari perahu yang tidak singgah
di masjid terapung sudah naik ke kapal Teluk Lampung. Perahu kecil kami
menunggu giliran untuk memindahkan penumpangnya ke kapal besar.
Kapal Teluk Lampung
Proses perpindahan dari perahu ke kapal Teluk Lampung
Begitu perahu kami mendekat, beberapa lelaki dari atas kapal
Teluk Lampung berteriak kalau kapal sudah penuh. Saya mengedarkan pandang. Tak
terlihat ada kapal fiber lain selain kapal Teluk Lampung. Trus kami naik apa
donk ke Krakatau? Jangan-jangan...
Pandangan saya jatuh pada sebuah kapal kayu yang bergerak mendekat.
Saya yakin, detik itu teman-teman saya juga pasti punya pikiran yang sama.
Kapal kayu itukah yang akan mengantar kami ke Krakatau? Ternyata benar.
Kapal kayu yang bergerak mendekat
"Hah? Kok naik kapal kayu?"
"Kok kapalnya beda?"
Pertanyaan-pertanyaan kami tak terjawab. Kapal kayu itu
sudah merapat ke body perahu kecil
yang kami naiki dari Pantai Sari Ringgung. Tak ada waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
kami. Tak ada waktu untuk menjelaskan kenapa panitia menyediakan jenis kapal
yang berbeda.
Kapal Kayu Tanpa Baju
Pelampung
Saya yang duduk di baris ketiga perahu hias mendengar dengan
jelas salah seorang awak kapal menjawab pertanyaan Yayan bahwa tidak ada life jacket di kapal kayu itu. Sewaktu
Yayan naik ke kapal kayu sambil membawa life
jacket dari perahu hias, saya pun sudah akan melakukan hal yang sama. Namun
urung karena tekong perahu hias berteriak melarang kami membawa life jacket dari perahu mereka. Akhirnya
kami semua pun pindah ke kapal kayu besar tanpa seorang pun membawa life jacket.
Ruangan kapal kayu yang lapang meski berlangit-langit rendah
Aroma bahan bakar langsung menyeruak begitu saya memasuki
bagian dalam kapal yang terasa lapang namun berlangit-langit rendah. Saya
memperhatikan seisi kapal. Ternyata selain tidak dilengkapi dengan life jacket, kapal ini juga tanpa
toilet. Duh! Semoga aja saya gak tiba-tiba kebelet pipis ato pup. Bisa berabe
ntar... Mau pipis dimana nek? Di engine
room?
Rupanya bukan hanya rombongan kami yang kebagian naik kapal
kayu ini. Beberapa rekan media, panitia, juga Farchan dan Takdos beserta
adik-adiknya pun naik kapal kayu bersama kami. Saya, Indra, dan teh Lina
memilih naik ke atas kapal. Berada di ruang terbuka begini jauh lebih baik buat
saya. Kami tak sendiri. Beberapa rekan media dan panitia juga Takdos dan
adik-adiknya pun memilih duduk di atas kapal.
Suasana di atas kapal
Saya pribadi sama sekali tak mempermasalahkan kalau harus
naik kapal kayu. Toh ini bukan yang pertama kalinya buat saya berlayar
menggunakan kapal kayu. Tapi ini akan jadi pengalaman pertama saya berlayar di
kapal yang tidak menyediakan life jacket.
Sumpah ini konyol.
Saya masih tak habis pikir. Bagaimana bisa panitia abai
terhadap hal yang teramat krusial seperti ini? Ketersediaan life jacket di dalam kapal seharusnya
sudah menjadi kewajiban. Ini merupakan standard keselamatan yang tercantum
dalam SOLAS (Safety of Life at Sea)
tahun 1974 bab 5 tentang Keselamatan Navigasi.
Satu hal lagi yang terasa janggal, kenapa panitia
menyediakan jenis kapal yang berbeda untuk para peserta Lampung Krakatau Festival
tahun ini? Kalau memang sudah tau kapasitas kapal Teluk Lampung milik pemda
tidak mencukupi untuk mengangkut seluruh peserta, kenapa tidak menyeragamkan
saja semua naik kapal kayu seperti tahun-tahun sebelumnya? Asal jangan lupa dicek
dulu apakah di kapal itu tersedia pelampung atau tidak.
Kapal kayu vs kapal fiber
Dengan perbedaan jenis kapal begini, tentu waktu tempuhnya
juga berbeda. Saya melirik jam di pergelangan tangan, baru menunjukkan pukul
09.30 WIB. Sepertinya perjalanan ini akan panjang. Jadi, mari kita menikmatinya.
Saya sengaja memilih duduk tak jauh dari ban yang biasa digunakan sebagai fender. Bahkan sewaktu tidur pun, ban
itulah yang saya jadikan bantal. Yaaa.. sekadar jaga-jaga kalau sampai terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Maklum, saya gak bisa berenang.
yang tidur di kabin bawah. Foto by: Yayan
yang tidur di atas kapal. Foto by: Arie
yang bikin meme kurang ajar.. hahahaha
Satu jam pertama, kami masih asik ngobrol sambil sesekali
memotret objek menarik yang kami lewati. Lewat dari satu jam, ketika di
sekeliling kami yang terlihat cuma laut, rasa bosan pun melanda. Kami memilih tidur
untuk membunuh waktu. Kebetulan cuacanya mendukung banget buat bobo-bobo manja,
apalagi ditambah angin yang bertiup sepoi-sepoi.
Saya sempat terbangun sewaktu ada kapal patroli Polair yang
merapat ke kapal kami. Awalnya saya mengira kapal patroli ini akan mempermasalahkan
ketiadaan alat keselamatan di dalam kapal. Ternyata dugaan saya salah. Kapal
patroli Polair ini hanya datang menyusul kami untuk mengantarkan nasi kotak
makan siang. ABK ikut membantu panitia menghitung jumlah penumpang di kapal
kayu untuk dibagi jatah nasi kotak. Setelah kapal patroli itu berlalu, saya pun
melanjutkan tidur.
Kapal patroli yang mengantar makanan
Perjalanan Masih
Panjang
Rasanya sudah cukup lama saya tertidur, ternyata baru jam 11
siang. Tapi menurut Indra, perjalanan kami belum ada setengahnya. Saya cuma
bisa nyengir pasrah.
"Makan dulu yuk!" ajak teh Lina.
Saya baru nyadar kalau di sebelah saya ada sekotak nasi bertuliskan
Puti Minang. Sebenarnya saya belum merasa lapar. Tapi saya mencoba memaksa diri
untuk makan. Dari pada masuk angin. Udara mulai terasa panas. Matahari yang
sedari tadi tampak malu-malu mulai menunjukkan eksistensinya.
Menu makan siang dari RM. Puti Minang
Karena tak ada aktifitas lain yang bisa dilakukan untuk
membunuh waktu, kami mencoba untuk tidur lagi. Namun kali ini rasanya tak mudah
buat saya untuk terlelap.
"Mbak udah makan?" Tanya Arie yang tiba-tiba sudah
duduk di samping saya.
"Udah, Rie.."
"Aku belum makan mbak. Mas Hari juga. Nasinya udah
abis."
"Kok bisa? Ada yang makan dobel?"
"Kayaknya emang kurang mbak.."
Setau saya, nasi kotak yang dipindahkan dari kapal patroli
ke kapal kayu jumlahnya pas sesuai dengan hitungan ABK. Belakangan baru saya
tau, rupanya ABK itu hanya menghitung para peserta festival tanpa menghitung
jumlah ABK yang 5 orang. Dan sewaktu tiba jam makan, para ABK tersebut ikut
makan, sementara teman-teman saya yang ada di bawah masih tidur. Hehehe pantas
saja kalau nasinya kurang 5 kotak :D
***
Dari kejauhan saya melihat bayangan hitam yang bentuknya
menyerupai gunung. Saya hepi. Gunung Anak Krakatau sudah terlihat. Sebentar
lagi kami akan bertemu daratan.
"Itu Pulau Sebesi.." Jawaban Indra bikin saya cuma
bisa nyengir pasrah.
Rupanya bayangan serupa gunung itu bukanlah Gunung Anak
Krakatau, melainkan sebuah bukit di Pulau Sebesi. Dari Pulau Sebesi, perjalanan
ke Krakatau masih sekitar 1 jam lagi. Perjalanan kita masih panjang, jendral!
Maafkan aku, Ndra! :D :D
"Kira-kira nanti jam 2 baru kita sampai di
Krakatau.." Seorang lelaki yang ternyata adalah nakhoda kapal kayu ikut
mengobrol dengan kami di atas kapal. Tugasnya mengemudi kapal sedang digantikan
oleh rekannya.
Dari beliaulah saya tau kalau kapal yang kami naiki sekarang
ini sehari-harinya adalah taxi air dengan rute Kalianda - Pulau Sebesi. Kapal
ini biasanya mengangkut hasil bumi. Bagian atas kapal ini muat untuk mengangkut
2 buah mobil. Kami masih asik mengobrol ketika udara terasa semakin panas dan
ombak tinggi membuat kapal semakin terayun-ayun. Beberapa penumpang yang tadi
bersama kami di atas kapal memilih turun.
Gunung Anak Krakatau sudah terlihat
Gunung Anak Krakatau benar-benar sudah terlihat di depan
mata. Saya, Indra, teh Lina, Arie, Maman, dan Takdos yang masih bertahan di atas
kapal tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia ketika akhirnya melihat daratan.
Hepi akhirnya ngeliat daratan. Foto by: Maman
Berhubung kapal tidak bisa merapat ke pantai, kami pun harus
pindah ke sekoci yang akan membawa kami ke pantai.
Mendaki Gunung Anak
Krakatau
Akhirnya! Saya bisa menjejakkan kaki di pasir hitam kawasan
Cagar Alam Krakatau. Perasaan saya campur aduk. Antara hepi, excited, deg-degan, dan kebelet pipis.
Sayangnya satu-satunya toilet yang ada di situ sedang tidak bisa digunakan.
Akhirnya kami pun bergantian mengantri di toilet darurat.
Yeaaay.. akhirnya sampe juga!
Saya dan teman-teman yang muslim sekalian bergantian
menumpang sholat di dalam kantor BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Mas
Yopie langsung menemui panitia menanyakan kalau-kalau masih ada jatah nasi
kotak. Nihil. Panitia menawarkan solusi lain. Mereka akan memasakkan nasi dan
lauk di kantor BKSDA untuk 5 orang yang belum kebagian makan siang. Karena
memasak makanan itu tidak sebentar, jadi dari pada nunggu di situ, mas Yopie menyuruh
kami untuk segera mendaki.
Saya berjalan bersama Maman, Yayan, Indra, Arie, dan mas
Hari mendului teman-teman lain yang masih antri sholat. Teman-teman saya tetap
semangat berjalan meski saya tau mereka menahan lapar. Arie dan Indra malah
asik nyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Sementara saya dan Maman juga asik berjalan
sambil berburu Pokemon foto-foto.
Teman-teman saya tetap semangat meski belum makan
Semua tetap semangat mendaki
Kami berpapasan dengan para peserta yang tiba lebih dulu
naik kapal fiber milik Pemda Lampung. Tentu saja mereka sudah selesai mendaki
sampai ke sadel Gunung Anak Krakatau (GAK). Mas Yopie, mbak Rien, dan Rian
memilih berhenti di bawah pohon terakhir. Saya memilih bergabung bersama
mereka. Sementara teh Lina dan kak Rosanna menyusul teman-teman lain.
Medan yang harus dilalui untuk sampai di sadel GAK
Baru saja saya duduk di atas pasir, ketika saya ingat request seorang teman yang minta
dibikinkan video ucapan ulang tahun di Krakatau. Saya buru-buru bangun dan berjalan
sendirian ke arah sadel. Baru beberapa langkah saya berjalan, sudah terdengar
panggilan agar semua peserta Lampung Krakatau Festival segera turun. Gimana
bisa menikmati perjalanan kalau diburu-buru begini :D
View dari atas GAK
Setelah beres membuat video sesuai request si teman, saya pun bergegas turun. Cuaca siang jelang sore
itu benar-benar terik. Karena jalan sendiri, jadi gak ada yang bisa dimintain
tolong buat motoin saya. Jadi saya cuma bisa selfie seadanya. Untung di bawah
sana mas Yopie kepikiran buat motoin saya. Meski hasilnya terlihat kecil, tapi
setidaknya saya punya kenang-kenangan di sini. Makasih banget ya mas :)
Selfie alakadarnya di GAK :D
Untung difotoin ama mas Yopie :)
Akhirnya turun lagi setelah menunaikan janji bikin video :D
Jam setengah 4 kami semua turun dari GAK. Trus, apa kabarnya
tuh rencana berkeliling Pulau Sebesi? Tak satu pun dari 13 poin ralam rundown yang disusun oleh panitia
terlaksana. Entah apakah sebelumnya si pembuat rundown tersebut sudah melakukan survey atau belum. Yang jelas
semua meleset dari jadwal.
Foto bareng sebelum turun. Foto by mas Yopie
Capek dan lapar.. Foto by: mbak Rien
Petualangan
Sebenarnya Baru Dimulai
"Mbak, baliknya naik kapal besar aja. Kalau naik kapal
kayu bisa-bisa jam 12 malam baru sampai darat." Nakhoda kapal kayu menyapa
ramah sewaktu saya baru sampai di depan kantor BKSDA.
"Emang masih cukup pak?" Tanya saya sanksi.
Saya baru akan menyampaikan berita itu ke teman-teman lain
sewaktu salah seorang mas dari EO menawarkan kami untuk pindah ke kapal fiber.
Tawaran yang langsung kami sambut gembira tentu saja. Karena 5 teman kami masih
makan, mas EO menyuruh kak Rosanna dan Rian berdiri di tepi pantai sambil ngode
ke kapal fiber agar menunggu kami.
Teman-teman kami yang sedang makan bergegas menyudahi acara
makannya demi mendengar tawaran menarik dari mas EO. Kami pun berlarian ke
pantai menyambut sekoci yang akan mengantar kami ke kapal fiber. Tapi ternyata
kapal Teluk Lampung itu justru bergerak pergi meninggalkan kami. Orang-orang
yang ada di kapal itu memberi kode bahwa kapal sudah penuh.
Awalnya saya mengira petualangan kami sudah dimulai ketika
kami menjejak pasir hitam di kawasan Cagar Alam Krakatau. Ternyata saya salah. Petualangan
kami sebenarnya justru baru dimulai sejak kapal besar berwarna putih itu
meninggalkan kami yang cuma bisa diam melongo di tepi pantai.
Yuhuu.. kami ditinggal... Foto nyomot dari blog Rian
Sepertinya, kami lebih 'berjodoh' dengan kapal kayu yang
tadi siang mengantar kami ke Gunung Anak Krakatau.. cieee yang jodohnya ama
kapal kayu. Peserta lain yang waktu berangkat tadi sama-sama naik kapal kayu
bareng kami sudah terangkut semua di kapal fiber.
Salah seorang mbak EO yang penampilannya paling nyentrik meminta maaf pada kami. Menurutnya,
kapal fiber itu sudah over capacity. Seharusnya
kapal itu berkapasitas hanya 30 orang, tapi saat itu dipaksakan untuk
mengangkut 50 orang. Wow! Saya cuma bisa geleng-geleng mendengar permohonan
maaf si mbak EO nyentrik. Lagi-lagi urusan keselamatan penumpang diabaikan.
Sore itu, kedua kapal sama-sama beresiko. Kapal putih Teluk
Lampung beresiko karena kelebihan muatan, sementara kapal kayu kami juga
beresiko karena tidak dilengkapi dengan baju pelampung.
Menikmati sore di atas kapal kayu.. Foto by mas Yopie
Kapal kayu yang kami naiki jadi semakin terasa lapang.
Beberapa teman langsung ambil posisi tidur. Sebagian lainnya memilih naik ke
atas kapal. Saya memilih tidur.
Mencoba untuk tidur. Foto by: mbak Rien
Baru beberapa menit mencoba memejamkan mata, kopi yang baru
saya minum rasanya teraduk-aduk di dalam perut. Indra tadi sempat membuat kopi
di kantor BKSDA dan memindahkannya ke botol yang kemudian kami minum bersama-sama.
Mungkin saking buru-burunya tadi, Indra lupa mengaduk kopi itu. Sehingga kini kopi,
gula, dan air panas itu jadinya saling mengaduk di dalam perut saya. Akhirnya
saya menyerah dan memuntahkan kopi itu ke laut. Pffiuuh! Saya merasa jauh lebih
baik setelahnya.
"Hujan..."
Teman-teman yang ada di atas kapal pun bergegas turun.
Padahal baru saja saya mau menyusul mereka ke atas. Jangan ditanya bagaimana
rasanya terombang-ambing di lautan sejak jam 4 sore sampai jam 10 malam dalam
kondisi perut lapar dan kedinginan. Mencoba 'membohongi perut' dengan berusaha
tidur. Bisa? Enggak!
Goyangan kapal yang awalnya biasa-biasa saja, lama kelamaan
menjadi semakin luar biasa. Maklum. Karena kami sedang berlayar melawan arus.
Ini bukan badai. Hanya saja kebetulan di luar sedang hujan dan gelombang di
perairan sekitar Krakatau itu memang mencapai 1,5 meter. Tapi siapa sih yang
bisa memprediksi bencana? Yang bisa kita lakukan cuma berdoa, semoga semua
baik-baik saja.
Beberapa kali kami kudu pindah posisi dan menyelamatkan
barang bawaan gara-gara hujan dan percikan ombak yang masuk ke dalam kapal. Ruang
kapal yang aslinya lapang itu jadi terasa sempit. Karena tentu saja kami
mencari tempat yang aman dari tetesan hujan maupun tempias ombak. Satu-satunya
lampu di dalam kapal bikin suasana jadi semakin dramatis. Dalam keadaan seperti
ini, rasanya waktu jadi berjalan lebih lambat.
Tiba-tiba kami merasa laju kapal melambat. Dari luar
terlihat ada banyak cahaya lampu. Daratan! Itu satu-satunya yang ada di pikiran
kami. Kami pun mulai memunguti tas masing-masing dan sibuk mencari sepatu
yang sudah berlarian kemana-mana.
Tiba-tiba kapal melaju kembali. Di sinilah saya baru tau.
Rupanya selain tak dilengkapi dengan life
jacket, kapal kayu ini juga tak memiliki GPS. Ditambah lagi, nakhodanya tak
terbiasa melewati rute ini. Jadi tadi, nakhodanya mencoba bertanya arah ke
kapal yang kebetulan berpapasan.
Korban Sudah
Dievakuasi
Saya baru mau tidur lagi ketika samar-samar terdengar suara
perahu yang semakin mendekat. Rupanya benar. Perahu itu memang datang untuk
menjemput kami. Bergantian kami pun pindah ke perahu. Sudah jam setengah 10
malam.
"Korbannya sudah dievakuasi semua. Ada 14 orang."
Saya dan Indra cuma bisa saling pandang demi mendengar kata
evakuasi yang diucapkan lewat telepon oleh bapak perahu yang menjemput kami. Separah
itukah keadaan kami? Kok sampai harus dievakuasi segala?
Hampir satu jam kami naik perahu. Rupanya kapal kayu kami hilang
kontak dan tadi nyasar sampai hampir ke Pahawang. Oh God!
Jam setengah 11 malam akhirnya kami sampai di Pantai Sari
Ringgung. Lega. Capek. Juga lapar. Ketika akhirnya handphone kami aktif, berbondong-bondong pesan masuk mengkhawatirkan
keadaan kami. Kami sendiri sampai bingung. Kok beritanya udah nyebar aja ya? Dan
masing-masing kami diberondong pertanyaan bernada khawatir dari teman-teman
lain di luar sana.
Akhirnya ketemu nasi jam 23.45.. 15 menit sebelum semua berubah jadi labu :D
Pertanyaan bernada khawatir dan cemas itu masuk bersamaan
dengan tuduhan kurang menyenangkan yang disebarkan orang entah dengan maksud
apa. Tuduhan yang bilang kami sengaja meng-eksklusifkan diri dan tidak mau
berbaur dengan peserta lain. Kami sengaja bersantai-santai di Gunung Anak Krakatau makanya ditinggal kapal. Dan yang paling menyakitkan adalah tuduhan
yang bilang bahwa kami adalah peserta tambahan yang jadi penyebab segala
kesalahan dalam Lampung Krakatau Festival 2016 ini. *sigh...
***
Perjalanan mengikuti Lampung Krakatau Festival ini luar
biasa banget. Saya menuliskan ini semua sama sekali tak bermaksud menjelekkan pihak mana pun. Saya cuma ingin menegaskan, bahwa dalam kegiatan apapun, yang namanya
faktor keselamatan itu jangan sampai diabaikan. Jangan sampai ada korban baru peduli tentang yang namanya keselamatan. Jangan sampai sudah jatuh korban, baru saling menyalahkan. Semoga kejadian seperti ini
tidak terulang di event-event lain.
Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik dari setiap perjalanan.
Dan perjalanan kali ini mengajarkan banyak hal pada saya. Bukan hanya tentang
pesona gunung berapi yang efek letusannya terasa sampai ke Semenanjung Afrika
dan Australia. Bukan cuma tentang kekayaan budaya Lampung yang diam-diam bikin
saya makin jatuh cinta. Tapi juga tentang kebersamaan dan persahabatan.
Genk TBC main-main ke Munca. Foto by Yayan
Buat temen-temen
genk TBC, terima kasih karena telah saling menjaga dan menguatkan. There are big ships and small ships. But the
best ship of all is friendship.
37 komentar
Ngakak lagi, ngakak lagi, kangen lagi.
ReplyDeleteDuh, kisah ini emang terlalu manis utk dilupakan.
Juga terlalu masnis emang kalau hanya disimpan sendiri.
Kapan ya gank ceboxx buat kisah bersama lagi
sehat selalu, jangan lupa ngopi dulu mbak Dian:D0
1 posting ini seperempat gelas kopiku habis
Hahaha.. aku nulis ini berhari-hari.. Gak tau lagi udah habis berapa gelas kopi :D
DeleteYuk! Jalan bareng lagi :)
Duh serunya acaranya bisa berkumpul sama temen temen blogger dan traveller dari berbagai belahan dunia eaaaa, mantappp mba dee...kerennn
ReplyDeleteIya Asad... seneng dan bersyukur banget bisa jalan bareng mereka semua. Bener-bener pengalaman luar biasa buat aku :)
DeleteHahahaah, merasa banget kasiannya kalau tanpa life jacket. Kalau memang itu sudah disiapkan kapal, harusnya pelampung tersedia. Kecuali kalau kapal itu dadakan (ambil kapal nelayan setempat hari itu juga).
ReplyDeleteKisahnya unik mbak, jadi gimana gitu bacanya.
Hehehe... Saya juga sempat curiga gitu mas.. Jangan-jangan itu kapal yang cuma kebetulan lewat, trus diminta ngangkut peserta karena kapal yang disediakan udah penuh :D
DeleteSeru sekaligus mendebarkan ceritanya, Mbak Dee An. Pengen deh kapan2 ikut acara seperti ini. :)
ReplyDeleteIya mbak Ira.. mendebarkan dan bikin deg-degan.. Tapi juga hepi :) Mudahan pas mbak Ira mudik ke Indonesia, pas ada event kayak gini :)
DeleteWhat a journey... apalagi bisa traveling bareng travel blogger lain, wah jadi tambah seru.
ReplyDeleteBtw lampung makin keren aja nih
Iya.. Lampung makin keren. Bikin saya makin jatuh cinta, pengen balik lagi kesana :)
DeleteTBC itu indah, bisa ngakak, bisa cuek tapi dibalik semuanya kita selalu bersama bergandengan dalam keadaan sesulit apapun. Blogger Cheboxxx Luar biasaaahhh
ReplyDeleteTBC itu bikin hidup lebih hidup ya Barb... :D Kaluan bener-bener sahabat yang luar biasa. *peluk semuaaaaa
DeleteWah seru sekali perjalannya kapan ya saya bisa ikutan festival macam itu :(
ReplyDeleteBudy | Travelling Addict
Blogger Abal-Abal
www.travellingaddict.com
Tunggu aja. Pasti ada masanya kok ;)
DeleteAcaranya sepertinya seru yaaaaa!
ReplyDeleteAcaranya seru banget bang Uma... Andai saja panitianya lebih mempwrhatikan masalah keselamatan :)
DeleteIni yang komen udah goyang chebox semua belom? Hahaha. Senenglah bisa jalan mbak dee dan mbak lina yang tukang naik gunung. Aku jadi ketularan "perkasa" hahahaha
ReplyDeleteKalo mau goyang cheebox besok pagi aja.. Biar dipimpin ama Indra :D
DeleteWkwkwkwk... tukang naik gunung apaan Yan? Tukang makan sih iya :D But eniwei, aku seneng bisa jalan bareng ama kamu, juga genk TBC lainnya... Bersama kalian, perjalanan jadi lebih berwarna :)
Ketika kak Ices ngasi tau mbak dee dan rombongan hilang kontak...kami yang tadinya lagi happy2 dirumah kak. ana mendadak terdiam tegang...dan hilang mood mau melanjutkan canda2...yang ada hanya menunggu kabar dari mbak dee dan teh lina.. setelah dapat kabar kalian baik2 saja... barulah kami bersorak ALHAMDULILLAAAAAHHHH.... huuufff perjalanan memang tak selalu indah seperti yang ditampakkan di dumay... namun pengalamannya takkan terlupakan...
ReplyDeleteHehehehe iya mbak Sarah, kami semua juga kaget.. pas sampe darat, kok orang-orang pada heboh.. kami yang di kapal gak nyadar kalau ternyata hilang kontak dan nyasar :D
DeleteBeneran, ini pengalaman tak terlupakan banget buat saya, dan pastinya teman-teman di kapal itu :)
Aku baru turun perahu nyampe masjid apung, langsung naik perahu lagi. Mas Yopie nyuruh masuk perahu, biar cepat naik kapal fiber katanya. Eh ga taunya malah ga keburu juga haha. Tau gitu lamaan dikit moto masjid.
ReplyDeleteHihihihi.. aku juga baru sempat nginjek terasnynya mbak, belum sempat foto-foto masjidnya. Itu cuman sempat moto masjidnya dari dalam perahu...
DeleteSungguh kisah yang menegangkan ...btw kami juga was was saat mendengar kapal sempat hilang kontak...
ReplyDeleteBener-bener jadi pengalaman tak terlupakan mas :)
Deleteya ampun..harusnya 30 jd 50??berani banget itu EOnya ya...ngeri2 sedap ya mbk naik ka[al kayu g ada pelampung jaketnya..tapi seru bgt ya hehe...waah ada teh Lina juga
ReplyDeleteIya mbak Hanna... EO nya parah bener.. gak peduli ama keselamatan peserta :(
DeleteDemi Chai Luk rela nanjak panas-panas buat bikin video haha. Meskinya doi nyogok pakai pizza atau soto dayak :D
ReplyDeleteHahahaha iya teh, demi Chai Luk ini.. Coba aja gak inget, pasti aku udah baring-baring di bawah pohon situ :D
DeleteSeyemmmmmm banget ampe hilang kontak.. Ah tapi puji syukur, mba Dian sehat2 ampe skrg dan bisa tulis pengalaman seru ini....
ReplyDeleteCheers
Alhamdulillah Chay.. dan untungnya kami di kapal gak ada yang nyadar kalo hilang kontak, kalo tau mungkin panik juga hehehe...
Deletebetul betul...kita nggak nyadar kalo hilang kontak. Taunya tuh kapal lambat banget. Kita malah tidur2an sambil laper...
DeleteHehehe iya mbak, yang kerasa banget itu lapernya :D
DeleteIni jarak nya makin jauh yaaa, dari canti aja lelah apalagi ini ihik ihik
ReplyDeleteMak indah harus nya dapat tiket new york lampung yeeee hahahaha
Seru banget ya perjalanannya!
ReplyDeletePengalaman yang takkan terlupakan. Benar, yang pahit semoga tak terulang dan yang manis untuk dikenang.
ReplyDeleteOuwh Mat Gay :o mengerikan sekali pengalamannya kali ini Mbak.. Syukur alhamdulillah masih diberi kesempatan, jalan-jalan di Bandung beberapa tahun kemudian..
ReplyDeleteWaduw, bisa kapok melancong ini Bang Emmet kalo dapet pengalaman begini :(
ReplyDelete