Menghabiskan Sore di Jam Gadang
Friday, July 24, 2015
Monuments are the grappling-irons that bind one generation to another - Joseph Joubert
Tak lengkap rasanya berkunjung ke suatu daerah tanpa menyempatkan diri singgah di bangunan yang menjadi landmarknya. Mencoba mengenal lebih dekat, mencari tau kenapa sampai bangunan itu bisa dinobatkan sebagai landmark daerah tersebut? Pastinya akan banyak cerita menarik yang menjadi latar belakang kisahnya.
Sore itu, setelah puas menikmati pemandangan Ngarai Sianok dari Taman Panorama, kami pun beranjak menuju Ramayana, salah satu pusat perbelanjaan yang berada tepat di samping landmark Kota Bukittinggi tersebut. Kami bukan mau belanja kok, cuman mau numpang sholat ashar sekalian parkir sepeda motor di Ramayana. Jadi setelah menunaikan sholat ashar, kami tinggal berjalan kaki menyeberang ke Jam Gadang yang sore itu rame banget. Rupanya tempat ini menjadi salah satu pilihan masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya untuk ngabuburit.
Suasana di sekitar Jam Gadang
Menunggu penumpang
Mulai dari penjual makanan, baju, souvenir, mainan anak-anak, sampai penjual jasa foto langsung jadi tumpah ruah di pelataran Jam Gadang. Kawasan ini rupanya memang merupakan magnet bagi siapa pun yang berkunjung ke kota yang berjuluk Paris van Andalas ini.
Saya berdiri mengagumi bangunan yang bukan hanya menjadi kebanggaan masyarakat Bukittinggi saja, tapi juga seluruh masyarakat Sumatra Barat ini. Bangunan yang menjadi penanda titik nol Kota Bukittinggi ini sudah berdiri sejak tahun 1926 yang lalu. Yang merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Yazid Rajo Mangkuto adalah arsitek yang merancang menara Jam Gadang ini.
Jam Gadang
Bangunan setinggi 26 meter ini dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen, melainkan hanya menggunakan campuran kapur, putih telur, dan pasir putih. Jadi inget bangunan Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat yang juga menggunakan campuran putih telur untuk memperkuat bangunannya. Rupanya jaman dulu, putih telur cukup populer digunakan sebagai campuran untuk membuat bangunan ya...
Jam Gadang ini mempunyai 4 buah jam yang masing-masing memiliki diameter 80 cm. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda, dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit saja di dunia ini, yaitu Jam Gadang itu sendiri, dan Big Ben di London, Inggris. Yang uniknya, angka Romawi empat pada Jam Gadang ini terlihat berbeda dengan penulisan Romawi pada umumnya. Kalau biasanya angka Romawi empat dituliskan IV, pada Jam Gadang ini dituliskan IIII.
Perhatikan angka 4-nya
Sejak berdiri 89 tahun yang lalu, bentuk atap menara Jam Gadang ini telah mengalami tiga kali perubahan. Awal didirikannya, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke timur di bagian atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Dan setelah Indonesia merdeka, atap Jam Gadang diubah bentuknya menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau. Bentuk inilah yang akhirnya dipertahankan hingga detik ini. (sumber Wikipedia)
Saya berjalan ke salah satu sudut di belakang kios-kios yang menjual aneka souvenir khas Kota Bukittinggi. Dari sana terlihat pemandangan Kota Bukittinggi yang seolah bersandar nyaman dalam pelukan Gunung Marapi. Ahh.. sayang saya tidak punya banyak waktu untuk mengenal lebih dekat lagi sang Paris van Andalas ini. Mungkin lain waktu... Ya, semoga Tuhan mendengar, dan memeluk mimpi-mimpi saya...
Kota Bukittinggi berlatar Gunung Marapi
Dua bocah itu sibuk sendiri
11 komentar
Kalau sore pemandangan di jam gadang cakep juga ya~ terus kemarin makan di warung nasi padang deket sini juga~ enakk, jadi kangen deh XD
ReplyDeleteAku kemaren gak nyobain makan nasi padang di situ... Puasa, kakaaaaaak....
DeleteEmang kudu balik lagi nih ke Bukittinggi...
jam gadang itu jam besar ya? lumayan lah bat nongkrong
Deletepadang itu, apapun ceritanya, tetep menarik ya kak? pengen ke padang someday
ReplyDeleteIya, Yud.. betul banget.. Aku juga pengen balik lagi ke sana.. apalagi kemaren belum puas nyobain kulinernya, hehehe.. maklum kesanannya pas bulan puasa :)
DeleteIkon bukit tingggi. Baru tahu kalau Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Pakai putih telur doang.
ReplyDeleteKalau ke Bukit tinggi harus cobain kulinernya yang kaya rasa itu.... hmmmm
Aku ngebayangin, kalo dulu aku berani agak bandel pas masih suka dinas, pasti udah ke sini :( sukanya ke Padang hingga akhir pekan dan langsung pulang. Padahal coba aja bilang ke bos, "bos boleh nggak extend 2 hari di Padang" tapi terlalu takut, maklum anak bawang.
ReplyDeleteLha ini komen kok curhat jajajajaja
One day, I will visit Padang , amin
ReplyDeleteAngka 4 bukan kok tidak mengikuti angka romawi.
ReplyDeleteKota Padang memang sudah identik dengan jam gadanngnya.
Saya belum pernah kesini, semoga suatu waktu bisa kesana.
Kangen banget sama Bukittinggi dan Jam Gadangnya. Eh, sama nasi kapaunya juga dink. Enaknya keterlaluan itu makanan. Hahaha .. :D
ReplyDeleteNice post, Kakak Dee .. :*
pinginnn sampai siiniiiiiii...... makasih tulisannya mba dee,, bikin mupeeenngg...
ReplyDelete