Inspirasi dan Cinta dari Tepa
Monday, November 19, 2018
"Kalau untuk merah putih, katong di sini pasti siap bantu," ucap lelaki yang berdiri di samping pick-up hitam itu sambil tersenyum ramah. Begitu tau bahwa kami adalah relawan RuBI (Ruang Berbagi Ilmu) yang datang ke Tepa untuk berbagi sedikit ilmu yang kami miliki pada guru-guru di Pulau Babar ini, beliau dan teman-temannya langsung semangat untuk membantu dan menawarkan tumpangan. Mereka sigap mengangkut kardus-kardus dan ransel-ransel besar bawaan kami ke atas pick-up.
Belum ada lima menit menjejakkan kaki di Bumi Kalwedo, kami sudah mendapat suntikan semangat. Kalau sudah begini, semua lelah setelah menempuh perjalanan panjang dari kota masing-masing sejak dua hari lalu rasanya langsung hilang. Apalah artinya menempuh 5 jam perjalanan udara, menginap 2 malam di Saumlaki, ditambah 15 jam mengarungi lautan, kalau dibanding dengan apa yang kami dapat di sini.
Jam 3 subuh, KM Pangrango sampai di Tepa
13 Oktober 2018, pukul 03.00 WIT. Bersama Falah, Pengajar Muda (PM) yang bertugas di Pulau Babar, kami berjalan kaki dari Pelabuhan Tepa. Barang-barang bawaan kami sudah diangkut lebih dulu ke rumah bapak ketua klasis, tempat kami akan menginap selama di Tepa. Ada 3 rumah yang sudah disiapkan untuk kami ber-8.
Kalwedo!
Akhirnya kami sampai di Desa Tepa. Sebuah desa di Kecamatan Pulau Pulau Babar, Maluku Barat Daya. Saya tidak typo dengan menulis 'Pulau Pulau Babar'. Nama kecamatannya memang seperti itu, Pulau Pulau Babar.
Sebuah gapura berwarna hijau-putih bertuliskan 'KALWEDO. Ina Nara Ama Yali Myai O' menyambut kami. Tulisan pada gapura itu mempunyai arti 'Saudara perempuan dan laki-laki mari datang ke sini'
Gapura selamat datang di Desa Tepa
Sebelum sampai di Pulau Babar, teman-teman PM sempat memberitahu, bahwa di Maluku Barat Daya (MBD) ini ada sebuah salam khas, yaitu Kalwedo. Gak tau kenapa, yang terekam dalam benak kami, kalwedo ini semacam ungkapan permisi atau punten. Jadi begitu kami sampai di rumah bapak ketua klasis, kami bersalaman dengan setiap orang sambil bilang kalwedo.
Subuh itu, sewaktu kami sedang membahas tentang persiapan kegiatan RuBI, Falah mengoreksi ucapan kalwedo kami. Katanya sih nggak salah, cuma selama ini belum pernah ada yang mengucapkan kalwedo dengan cara yang seperti kami lakukan barusan. Hahaha...
Jadi, kalwedo itu semacam salam yang harus diucapkan dengan penuh semangat. Ya seperti kata Horas kalau di Sumatra Utara gitulah. Wkwkwkwk.. pantesan tadi waktu kami salaman sambil bilang kalwedo, yang diajak salaman cuma bengong sambil senyum-senyum. Apalagi waktu bu Wiwit yang mengucapkan kalwedo sambil membungkuk dengan logat khas Jawa Tengah-nya yang halus itu. Jadi kebayang bilang Horas tapi diucapkan pake logat Solo.. *grin
Pagi yang Hangat dan Penuh Semangat
13 Oktober 2018, pukul 08.00 WIT. Kami sudah siap berjalan kaki menuju SMPN 1 Tepa, tempat akan dilaksanakannya kegiatan RuBI hari itu. Saya senang melihat wajah teman-teman seperjalanan saya begitu berseri-seri pagi itu. Waktu istirahat yang gak sampai 3 jam, ternyata cukup untuk merecharge semangat dan energi. Sedikit pun gak terlihat letih meski telah menempuh perjalanan panjang dari kota asal masing-masing sejak 2 bahkan 3 hari yang lalu.
Jalan kaki menuju lokasi kegiatan
Sampai di lokasi kegiatan, suasananya sudah ramai. Saking banyaknya peserta, ruang aula yang disediakan untuk tempat pembukaan sampai gak muat. Jadi terpaksa ada yang kebagian di luar ruangan. Peserta hari itu tidak hanya berasal dari Tepa dan Pulau Babar. Tapi juga dari Kota Tiakur di Pulau Moa, Pulau Wetan, Desa Emplawas di Pulau Babar Timur, dan pulau-pulau lain di sekitar Pulau Babar. Semangat dan antusiasme mereka begitu luar biasa.
Wajah-wajah penuh semangat
Sambil menunggu kedatangan Pak Camat, teman-teman narsum berinisiatif mengisi acara dengan ice breaking. Biar suasana lebih rileks, santai, dan gak pada bete nunggu.
Ice breaking di dalam kelas
ice breaking di luar kelas
Meski sedikit molor, tapi acara pembukaan berjalan lancar. Dengan ditabuhnya tifa oleh Camat Pulau Pulau Babar, Josias Untajana, kegiatan RuBI di Pulau Babar hari itu resmi dibuka. Selanjutnya semua peserta bersama masing-masing narsum menuju ruangan yang sudah ditentukan sesuai dengan tingkatan kelas yang diajarnya.
Sambutan dari Pak Camat Pulau Pulau Babar
Bapak ketua klasis Tepa, Pak Camat, Pak Kadis Pendidikan ikut hadir di acara pembukaan
Berhubung cuma ada 4 orang narsum, jadi 264 peserta dibagi juga jadi 4 kelompok. Kelompok pertama guru-guru TK dan PAUD dipandu oleh Ale. Kelompok kedua guru kelas 1, 2 dan 3 SD dipandu oleh kak Indra. Kelompok ketiga yaitu guru kelas 4,5, dan 6 dipandu oleh kak Adhi. Sementara guru SMP dan SMA digabung jadi satu dan dipandu oleh bu Wiwit.
Belajar dari Masalah
Untuk kegiatan RuBI ini, panitia lokal (panlok) sudah menyiapkan 4 ruang kelas di 3 sekolah yang berbeda. Lokasi sekolahnya deketan aja sih. Cuma kudu nyeberang jalan. Dan sekolah yang satunya lagi cuma dipisah oleh tembok, jadi sebelahan. Sesi pertama saya kebagian motret di kelasnya kak Indra, yang kebagian lokasi paling jauh. Di sesi pertama ini kak Indra menyampaikan materi leadership.
Dari kelas kak Indra, saya pindah ke kelas kak Adhi. Gantian ama Diah. Kebetulan lokasi sekolahnya bersebelahan. Di dalam setiap kelas, saya jadi keasyikan menyimak materi-materi yang disampaikan oleh teman-teman saya. Sampe gak nyadar, ternyata sudah hampir lewat 2 jam dari jam makan siang dan makanan belum datang.
Permainan Human Knot di kelas kak Adhi
Diskusi tentang leadership di kelas kak Adhi
Mempersiapkan materi untuk MBK sambil nunggu makan siang
Dalam perencanaan sematang dan sebaik apapun, yang namanya terjadi sesuatu di luar rencana, itu biasa. Begitupun dalam pelaksanaan RuBI kali ini. Makan siang yang terlambat hampir 2 jam itu gak bikin acara mendadak buyar. Tanpa komplain dan tanpa ribut saling menyalahkan, semua pihak justru berusaha saling bantu. Karena semua paham, yang namanya masalah itu ya harus diselesaikan bersama, bukan dikomplain dan diributkan berkepanjangan.
Tentang Kekhawatiran, Cita-Cita dan Harapan
Di setiap kelas, semua peserta diminta untuk menuliskan apa kekhawatiran, cita-cita dan harapan mereka untuk dunia pendidikan di Maluku Barat Daya pada selembar kertas. Kertas-kertas itu kemudian ditempel pada sebuah karton besar, untuk dijadikan bahan refleksi di akhir acara.
Kekhawatiran, Harapan dan Cita-Cita
Saya berdiri lama di depan karton-karton itu. Membaca satu per satu 'curhat' para guru di Maluku Barat Daya yang terwakili lewat lembaran-lembaran kertas itu. Harapan dan cita-cita mereka sederhana saja. Sebagian besar menginginkan agar pendidikan di MBD bisa lebih baik. Ada juga yang berharap semoga sekolah di MBD bisa maju seperti sekolah-sekolah di daerah lain. Selebihnya lagi berharap agar anak-anak didik mereka bisa sukses dan berprestasi.
Di lembar kekhawatiran, ada seorang guru yang menulis khawatir kami tidak datang, karena beliau sudah datang dari jauh. Sebuah kekhawatiran yang beralasan. Mengingat jadwal kapal menuju Pulau Babar yang tidak pasti. Makanya mereka begitu semangat dan antusias mengikuti kegiatan ini meski harus menempuh perjalanan jauh menyeberangi lautan. Para guru di MBD ini begitu haus akan ilmu-ilmu baru.
Kekhawatiran seorang peserta
Seorang bapak guru sempat berucap, "Maluku masih Indonesia e.. Memang jauh, tapi perlu juga dilihat." Ucapan beliau itu bikin saya dan teman-teman relawan jadi mikir. Iya, Maluku Barat Daya, dengan segala keterbatasan aksesnya, masih menjadi bagian dari Indonesia. Karena itu, sudah sepantasnya kalau mereka di sini juga merasakan kemajuan pendidikan yang sama seperti yang dirasakan masyarakat di kota besar.
Tari Timba Laor
Berhubung sempat ada sedikit drama makan siang yang tertunda, jadi jadwal penutupan juga molor. Kelasnya Ale dan kelasnya bu Wiwit selesai duluan. Sambil nunggu kelas yang lain selesai, mama dan bapak guru mencoba memperkenalkan tarian khas Maluku, yaitu Tari Timba Laor.
Tari Timba Laor | Dok. Atika
Timba laor ini adalah tradisi menangkap cacing laut yang hanya muncul setahun sekali. Ya mirip-mirip ama tradisi Bau Nyale di Lombok gitu. Saya dan teman-teman relawan gak mau ketinggalan ikutan juga nari di tengah lapangan, lengkap dengan keranjang rotan kecil yang diikatkan di pinggang. Jadi ceritanya, keranjang itu buat nempatin laor-laor (cacing laut) yang kita tangkap.
Saya dan Klaudia ikutan nari timba laor
Tanah Airku dan Pela Gandong Jadi Penutup yang Manis
Sore itu saya masuk lagi di kelasnya kak Indra untuk mendokumentasikan sesi refleksi dan penutupan. Di akhir acara, kak Indra mengajak semua peserta membuat satu lingkaran sambil bergandengan tangan dan menyanyikan lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud. Orang-orang Maluku ini suaranya emang asli bagus-bagus. Nyanyi bareng-bareng begitu, mereka otomatis langsung pecah suara loh. Saya sampe merinding dengar mereka nyanyi penuh penghayatan begitu. Beberapa guru ada yang sampai nangis menyanyikan lagu ini.
Kak Indra,Ayu, dan guru yang menginspirasi
Sesi refleksi
Dan tanpa bisa saya tahan, mata saya pun ikut berkaca-kaca. Sewaktu sampai di bagian lagu "Biarpun saya pergi jauh.. Tidakkan hilang dari kalbu.." saya keluar dari lingkaran. Pura-pura sibuk nyetting kamera, padahal saya sibuk ngelap mata yang semakin basah.
Setelah lagu Tanah Airku selesai, para guru menyanyikan Pela Gandong untuk kami. Katanya, itu sebagai ungkapan bahwa mereka sudah menganggap kami sebagai saudara. Huhuhu.. melting gak sih? Lagu Tanah Airku dan Pela Gandong itu jadi penutup yang manis kegiatan RuBI di Desa Tepa, Maluku Barat Daya.
Bergandengan tangan menyanyikan Pale Gandong
Tepa dan Keluarga Baru Kami
Sewaktu tau daerah penempatan kami adalah di Tepa, Pulau Babar, saya excited banget. Ini pertama kalinya saya mendengar nama Pulau Babar. Saya langsung buka google maps, dan semakin excited sewaktu tau bahwa Pulau Babar ternyata sangat jauh. Kalo dilihat di peta, Pulau Babar itu lebih dekat ke Australia dan Timor Leste dibandingkan ke Jakarta.
Welcome to Babar Island
Untuk sampai di Pulau Babar, diperlukan perjuangan yang cukup panjang. Karena Pulau Babar cuma bisa diakses lewat laut dengan kapal yang jadwalnya tidak menentu. Tempat yang bagus buat belajar sabar menghadapi segala ketidakpastian. Kalo kata teman-teman PM yang mengabdi di MBD, satu hal yang pasti di sana adalah ketidakpastian itu sendiri.
Listrik di Tepa hanya menyala selama 12 jam. Mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Dan jangan berharap dengan koneksi internet. Selama 4 hari kami tinggal di Tepa, ternyata kami cukup menikmati hari-hari tanpa internet. Kami bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol-ngobrol berfaedah. Sesekali bisa merasakan kehidupan normal seperti ini ternyata sangat menyenangkan. Gak bentar-bentar sibuk ngecek WA, ato sibuk balesin komen di medsos.
Diskusi berfaedah lewat tengah malam | Dok. Choty
Selama di Tepa, kami tinggal di rumah bapak ketua klasis dan ibu pendeta. Keluarga baru yang menyenangkan. Yang menerima dan memperlakukan kami dengan sangat baik. Yang menganggap kami adalah bagian dari keluarga mereka, tanpa melihat perbedaan suku maupun agama.
Kami bersama keluarga bapak ketua klasis | Dok. Choty
Mereka juga keluarga baru saya
Salah satu yang selalu kami tunggu-tunggu selama kami tinggal di Tepa adalah waktu makan. Kami selalu gak sabar untuk menikmati makanan yang disediakan mama piara kami. Entah ini karena mama piara yang pinter masak, atau karena kami yang bawaannya selalu lapar..Tapi yang kami tau, mama piara kami selalu memasak dengan sepenuh cinta untuk kami.
Masakan mama piara yang selalu bikin kangen
Belum lagi Elda dan Yona, anak bapak klasis dan ibu pendeta yang ngintilin kemana pun kami pergi. Mereka anak-anak manis yang polos dan menyenangkan. Yang nangis sewaktu kami akhirnya harus pulang. Aaah.. mereka bikin kami juga jadi ngerasa berat ninggalin Tepa.
Elda yang sudah packing dan mau ikut ke Batam..
How lucky i am to have something that makes saying goodbye so hard - Winnie the Pooh
Baca juga tulisan lain tentang RuBI Maluku Barat Daya
Sedikit gambaran kegiatan kami di Tepa bisa ditonton di video ini:
13 komentar
Ingin ke Maluku sejak lama, baca cerita mbak Dee makin bikin pengen. Apalagi kalau sambil jadi relawan. Semoga tahun 2019 bisa turut berkunjung.
ReplyDeleteSukaaa banget sama tulisannya Mbak Dian.. jadi ikutan ngerasain terharu dan semangatnya ketika disana.. semoga kegiatannya berkah buat pesertanya dan juga penyelenggaranya ya mbak...
ReplyDeletemba..mba.. nggak usah dengerin lagu Tanah Airku dinyanyiin bareng-bareng di sana. baca cerita mba dee aja ini dah bikin mbrambang mili.. terharu aku mba dengan semangat bapak ibu guru di sana. apalagi pas baca quote seorang bapak di sana 'Maluku masih Indonesia e.' Langsung terhenyak.
ReplyDeleteAmsiong.. apa cuma gua yang nangis dan terharu baca tulisan ini setelah sampai di sesi menyanyi bersama Tanah Airku dan Pela Gandong? Merinding gua asli. Itu lagu memang maknanya dalam banget. Jadi ingat tiga hari lalu pas naik panggung, usai pemberian piala dalam sebuah acara di Jakarta, untuk menutup acara, dari atas panggung, pejabat kementerian dan Koperasi dan MIS group beserta kami enam pemenang bersama tamu undangan menyanyikan lagu Padamu Negeri. Demi apa saya mbrebes mili juga.. Arrrrgh, lagu-lagu nasional negeri ini memang bermakna dalam akan nasionalisme, yang artinya sangat berarti.
ReplyDeleteMba Dee, dari tulisanmu ini saya belajar, betapa perbedaan itu, apabila kita melihatnya dari sudut kacamata yang indah, humanisme, kita adalah satu. Nggak ada yang membedakan.
Salut sama kegiatan kalian mba. Semoga menginspirasi dalam pemerataan pendidikan di negeri kita tercinta ini. Sampaikan salam Nona Chaya untuk adek Elda yang manis.
Semoga 2019, Chaya berhasil mendaftar Rubi ya mba. Amin.
Wah penuh perjuangan ya perjalanannya ke sana. Semangatnya luar biasa. Semoga lain kali bisa bergabung dengan Rubi.
ReplyDeleteAah Indonesia memang luar biasaaa.. Salut kak Dian bs keliling Indonesia...terharu bc tulisan ini. Membayangkan sy ada di sana dan berbaur bersama mereka.
ReplyDeletePerjalanan yang penuh dengan perjuangan dengan suasana yang hangat, aku terharu membacanya
ReplyDeleteMbak dee dan teman2 yang aku banggakan. Keren banget sihh kalian.
ReplyDeleteBtw, lagi Tanah Air memang menyentuh sekali, apalagi kalau dinyanyikan di tengah2 saudara2 di MBD sana ya.
Jadi benar-benar ikut merasakan bagaimana perjuangan guru-guru yang mengajar di sana ya. Butuh ekstra sabar menghadapi segala ketidakpastian. Btw, jadi ikut haru biru saat Dee nyeritain nyanyi barwng Tanah Airku.
ReplyDeleteSeru banget yah..bisa ke Maluku dan menjadi relawan. Bisa berbagi semangat bareng saudara kita disana. Dulu pernah juga ikutan kegiatan seperti ini waktu kuliah..emang semangat kali jadinya kita melihat mereka.
ReplyDeleteWah keren sekali pertualangan kali ini, sukses untuk kakak2 yang senang berbagi ilmu dan pengalaman.... Karena hidup Tak Kan sempurna tanpa saling membantu
ReplyDeletePulau Pulau Babar, nama daerah yang baru juga saya dengar. Membaca tulisan ini, semakin terkagum dengan Indonesia yang begitu luas dan kaya keberagaman... Semoga bisa ikutan jejak Mbak Dian nih, berbagi ilmu ke banyak pulau terpencil....
ReplyDeleteHehe, aku mesem ngebayangin sendiri kata "Kalwedo" diucapkan dengan nada halus dan medhok xD
ReplyDeleteAku percaya, masakan warga desa pasti selalu nikmat. Bumbu dan bahannya fresh!