Jaga Bumi dengan Konsumsi Makanan Ramah Iklim
Sunday, February 21, 2021Sejak makhluk hidup pertama diciptakan di alam semesta ini, makanan menjadi satu kebutuhan hidup yang paling hakiki. Tak terkecuali bagi kita umat manusia. Mungkin 80 persen usia hidup manusia dihabiskan untuk makan dan mengusahakan makanan (bertani, beternak, bekerja, mencari nafkah dsb).
Dan kini, seiring perkembangan teknologi serta gaya hidup yang semakin maju, maka pola juga gaya makan manusia pun kian berubah. Bahkan makanan sudah banyak dipengaruhi unsur "trend lifestyle", hedonisme, serta menjadi ukuran standar gaya yang menunjukkan status sosial orang yang memakannya.
Tak dipungkiri, peran media sosial ikut menggiring pola pikir serta gaya hidup manusia dalam memandang serta memaknai sebuah makanan. Misalnya saja gaya makan "mukbang" (makan makanan dengan porsi dan ukuran yang jauh di atas normal) yang banyak diviralkan medsos, saat ini seolah sudah menjadi gaya makan baru bagi orang-orang tertentu. Sebagai contoh adalah style makanan bakso saat ini yang sudah jauh meninggalkan wujud konvensional sebelumnya. Hidangan dengan olahan campuran daging sapi dan tepung tapioka yang dibentuk bola-bola berukuran sebesar bola pingpong atau bola tenis ini, kini sudah banyak "dipaksa" berubah demi mengejar sebuah status "viral" untuk sebuah alasan keuntungan bisnis. Ukurannya pun sudah dibuat jauh melebihi ambang wajar (sebesar bola voli atau kepala manusia) yang tidak akan sanggup dihabiskan walau dimakan oleh dua atau tiga orang sekalipun.
Tanpa disadari bahwa bentuk penyajian makanan yang demikian itu membuka peluang untuk mubadzir atau membuang-buang bahan pangan yang tidak seharusnya terbuang (food wasting). Akan tetapi banyak dari kita yang tak menyadari hal tersebut. Apapun yang dilakukan yang penting makan enak, makan kenyang dan bisa viral di medsos.
Khazanah Kuliner Lokal Sebagai Sumber Makanan Ramah Lingkungan
Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan budaya. Sejak jaman kerajaan, negeri ini sudah dikenal dunia sebagai surga penghasil rempah-rempah. Nah, kekayaan rempah-rempah inilah yang menjadikan negeri ini juga kaya akan citarasa kuliner.
Lebih dari 1.300 etnik suku bangsa mendiami gugusan pulau Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Dengan latar belakang budaya yang berbeda, ditunjang dengan keragaman topografi alam yang melatarbelakangi kehidupan masing-masing etnik, menjadi sumber keragaman bentuk citarasa makanan tiap daerah.
Salah satu contoh yang mudah kita lihat adalah pada hidangan "Soto" yang beragam dan berbeda di tiap daerah. Secara umum, soto adalah bentuk hidangan makanan berkuah kaldu dengan irisan lauk hewani di dalamnya. Dan negeri ini sangat kaya dengan aneka model soto yang berbeda di tiap daerah. Ada soto Aceh, soto Medan, soto Padang, soto Betawi, soto Bogor, soto Bandung, soto tauco Pekalongan, soto Kudus, soto Kwali Boyolali, Soto Lamongan, soto Madura, hingga coto Makassar yang semua memiliki perbedaan khas pada komposisi serta rempah bumbunya.
Apabila kita mau mengamati kearifan budaya lokal yang ditampilkan lewat semangkuk soto (mau dari mana pun soto tersebut berasal), di situ bisa kita lihat bagaimana leluhur kita membuat sebuah kreasi citarasa kuliner yang sangat memperhatikan norma-norma keseimbangan alam. Bagaimana semangkuk soto disajikan dengan menggabungkan antara nasi atau lontong sebagai makanan pokok, irisan daging, ayam, telur atau udang sebagai lauk, kuah serta variasi topping lainnya dalam porsi dan takaran yang pas. Nyaris tidak pernah kita jumpai soto yang disajikan dalam porsi mukbang yang berlebihan, atau dengan lauk yang menggunung.
Kasarnya, kita bisa melihat bahwa seekor ayam sudah cukup untuk dijadikan puluhan mangkuk soto yang juga cukup untuk mengenyangkan orang sejumlah itu.
Nah, dari beberapa contoh-contoh tersebut di atas, tentunya kita sudah dapat menginterpretasikan sendiri seperti apa bentuk makanan yang ramah lingkungan.
Mulai Konsumsi Makanan Ramah Iklim dari Hasil Pekarangan Rumah Sendiri.
Apabila kita mau untuk sedikit peduli dan bergerak, sebenarnya rumah yang kita tempati bisa kita kelola sebagai sumber penghasil pangan sendiri. Selain bisa untuk menekan angka konsumtif dari anggaran belanja pangan, bahan pangan yang kita kelola dan produksi sendiri tentu akan lebih terjaga kualitasnya agar terhindar dari kandungan zat-zat kimia yang berbahaya bagi tubuh.
Kita mulai dari halaman rumah sendiri
Mulailah dengan menanam di sekeliling rumah kita walaupun hanya sedikit. Tak masalah walau hanya diawali dengan menanam sebatang pohon cabe, tomat, atau sayuran dalam pot kecil untuk "starting booster". Kalau saya pribadi sih sudah merasakan banyak sekali manfaat menjadikan pekarangan rumah sebagai sumber penghasil pangan. Kebetulan juga halaman depan dan belakang rumah lumayan luas, hingga bisa saya kelola maksimal sebagai penghasil bahan pangan. Mulai dari aneka umbi-umbian seperti singkong, ubi, dan talas, bermacam sayur mayur dalam pot, tanaman apotek hidup, aneka empon-empon dan tanaman bumbu (jahe, kencur, kunyit, sereh, salam, jeruk purut dll), aneka pohon buah-buahan, hingga ternak ayam kampung dan ikan organik, semua saya budidayakan di pekarangan rumah.
Tak hanya itu, demi menjaga kelestarian kualitas lingkungan, maka saya juga menerapkan pola "daur siklus" antara dapur dan pekarangan. Semua sampah organik hasil pengolahan makanan di dapur saya giling dan fermentasi untuk dijadikan pakan ayam dan ikan organik, kemudian kotoran limbah kandang ayam juga saya olah menjadi pupuk untuk media tanam. Sedangkan kotoran ikan dan sisa pakan yang ada di air kolam secara otomatis diurai oleh bakteri bioflok yang ada di air kolam dan sebagian langsung menjadi nutrisi organik yang diserap oleh deretan sayuran yang saya tanam secara hidroponik menggunakan media air kolam ikan.
Setelah sekian waktu memberdayakan pekarangan rumah sebagai "pabrik bahan makanan", benar-benar memberikan kesenangan dan kepuasan tersendiri lho manakala kita menikmati hasilnya. Coba aja deh kalau nggak percaya! Hehee…!!
Sebuah Cerita Tentang Climate Smart Recipe Contest
Ceritanya beberapa waktu lalu ada sebuah event bertajuk EU Climate Diplomacy Week 2020. Sebuah acara yang dimotori oleh Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Climate Reality Indonesia, Omar Niode Foundation, dan Nusa Foundation.
Nah salah satu bagian dari acara ini adalah diadakannya lomba "Climate Smart Recipe Contest" yaitu membuat kreasi resep makanan yang ramah iklim untuk mendukung gerakan Climate-Smart Eating atau Pola Makan Cerdas Iklim.
Adapun kriteria resep makanan yang sesuai dengan pola makan cerdas iklim tersebut di antaranya adalah dengan memperbanyak konsumsi bahan nabati, yaitu biji-bijian, buah-buahan dan sayuran dan mengurangi daging. Bahan-bahan yang dipakai adalah menggunakan bahan lokal, bukan impor serta mengurangi limbah makanan yang semuanya membantu mengurangi krisis iklim.
Wah kebetulan sekali ada tantangan yang langsung saya sambut dengan membuat sebuah kreasi resep yang seluruh bahan bakunya saya ambil dari pekarangan rumah.
Karena saat itu kebetulan sedang musim nangka, dan pohon nangka di depan rumah sedang berbuah lebat, maka saya pun mencoba untuk membuat resep:
"Rica-Rica Nangka Muda"
Bahannya:
-Buah nangka muda, kupas, potong2 lalu rebus
-Cabe rawit segar iris tipis
-Bawang putih cincang halus
-Bawang merah cincang halus
-Batang sereh iris tipis
-Daun jeruk purut iris tipis
-Daun kemangi
-Garam
-Sedikit minyak untuk menumis
Cara membuatnya:
1. Panaskan minyak, lalu tumis bawang putih, bawang merah hingga harum.
2. Masukkan cabe rawit, sereh, daun jeruk, masak hingga bumbu matang.
3. Masukkan nangka muda rebus yang sudah ditiriskan serta daun kemangi. Beri garam, lalu aduk hingga rata dan bumbu meresap.
4. Rica-rica nangka muda yang pedas menggoda siap disantap.
Rica-rica Nangka Muda
Selain lezat, masakan ini juga saya buat minim sampah lho. Sisa olahannya seperti kulit nangka tidak terbuang menjadi sampah, karena semua sampah dapur bisa dijadikan santapan lezat berkualitas bagi ikan-ikan dan ayam peliharaan di halaman belakang melalui sebuah proses fermentasi.
Dan yang lebih menggembirakan lagi ternyata resep masakan hasil pekarangan rumah tersebut mampu menyita perhatian dari para juri yang terdiri dari Chef Ragil Imam Wibowo, Katerina, dan Ibu Amanda Katili Niode hingga diberi kehormatan untuk menjadi juara ke-3. Wah jadi bertambah deh kecintaan dan semangat saya untuk terus menanam dan menanam. Siapa tahu di kemudian hari semua yang saya usahakan ini akan memberikan hasil yang lebih banyak lagi, bukan hanya buat saya pribadi, tapi juga buat orang banyak. Aamiin!
Alhamdulillah juara 3
Semakin Mengenal Pola Makan Ramah Iklim dan Kuliner Gorontalo Lewat Talkshow Bergizi
Dari event Climate Smart Recipe Contest yang tersebut, saya jadi semakin tertarik dan ingin terus membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang ramah iklim.
Makanya, begitu ada informasi bahwa Omar Niode Foundation mengadakan talkshow bertajuk "Makanan Ramah Iklim dan Peluncuran eBook Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo" pada 14 Februari lalu, saya sangat excited untuk mengikutinya. Menurut saya, kampanye seperti ini harus terus-menerus digaungkan. Agar masyarakat semakin familiar dan terbiasa untuk menerapkan Pola Makan Ramah Iklim.
Menurut Ibu Amanda Katili, sistem pangan sangat berkaitan dengan krisis iklim, krisis kelaparan, dan sekarang ditambah dengan krisis pandemi. Tidak bisa dipungkiri bahwa tubuh kita membutuhkan makanan. Tapi kadang kita lupa (atau bahkan mungkin belum tau), bahwa makanan yang kita konsumsi itu melalui proses produksi dan pengolahan yang panjang, yang mana itu berdampak pada kerusakan lingkungan.
Makanya, Ibu Amanda Katili, melalui Omar Niode Foundation gencar menggalakkan kampanye Pola Makan Ramah Iklim. Sebuah gerakan yang harus kita dukung bersama, demi bumi yang kita cintai. Bukan begitu?
Dalam talkshow tersebut, hadir juga Nia Ricky Aziman sebagai pembicara. Beliau adalah Ketua Sobat Budaya yang membangun perpustakaan digital untuk mengumpulkan kekayaan budaya Indonesia. Dan buat para pecinta kuliner, di dalam perpustakaan digital tersebut, sudah ada sekitar 30.000 kuliner Nusantara. Wow! Penasaran kan apa aja? Cuss langsung meluncur ke budaya-indonesia.org. Itu aja masih belum semua looh. Karena menurut Nia, pemetaan kuliner Nusantara masih terus berlangsung karena masih ada sekitar puluhan ribu data yang belum disubmit. Duh, jangan-jangan data yang belum disubmit itu jumlahnya lebih banyak daripada yang sudah tayang di web ya? Hehehe bisa jadi..
Dalam acara talkshow sore itu Nia membahas tentang solusi untuk mengurangi sampah plastik yang sebenarnya sudah ada dalam tradisi budaya Indonesia. Contohnya dalam penggunaan daun pisang, daun pinang dan besek untuk kemasan makanan. See, sebenernya nenek moyang kita sudah mengajarkan kearifan lokal yang ramah iklim. Tapi kitanya aja yang kadang suka sok berinovasi tanpa mikir panjang dampak ke depannya buat lingkungan dan generasi mendatang.
Karena acara talkshow-nya mengambil tema tentang Kuliner Gorontalo, maka tak heran bila sore itu kuliner Gorontalo menjadi bintangnya. Kebetulan juga, kebanyakan kuliner Gorontalo termasuk yang ramah iklim karena proses pengolahannya rata-rata hanya dibakar atau direbus sebentar.
Dan karena di Gorontalo jenis sayuran yang ada tidak seberagam di Jawa, masyarakat sana terbiasa mengolah apa yang ada di halaman mereka, seperti jantung pisang dan bunga pepaya yang dikolaborasikan dengan ikan yang memang melimpah di sana. Menurut Zahra Khan, pelaku UMKM dari Gorontalo sekaligus penyusun eBook Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo yang sore itu juga hadir sebagai pembicara, "orang Gorontalo kalau tidak makan ikan itu sama aja kayak belum makan".
Oiya, untuk eBook Memilih Makanan Ramah iklim +39 Resep Gorontalo bisa diunduh di http://bit.ly/e-bookmakananramahiklim
Ngomongin tentang Kuliner Gorontalo, gak afdal rasanya kalo gak icip-icip langsung. Berhubung acara talkshow-nya secara virtual, jadi icip-icipnya juga virtual. Sumpah! Saya benci bagian ini! Hahaha.. Gimana gak benci, kalo saya cuma bisa ngiler melihat penampilan aneka kuliner Gorontalo yang dipamerkan oleh Ihsan Averroes Wumu dari Olamita Resto.
Resto spesialis masakan khas Gorontalo ini sudah berdiri sejak tahun 2016 di Jl. H.Abdullah Syafii, Tebet, Jakarta. Awalnya pangsa pasar Olamita Resto adalah orang Gorontalo yang tinggal di Jabodetabek. Tapi ternyata, kebanyakan pelanggan Olamita Resto bukan berasal dari Gorontalo. Ini berarti, bahwa masakan Gorontalo yang jadi andalan Olamita Resto seperti Tuna Bala Rica, Nasi Kuning Cakalang, Kangkung Bunga Pepaya, Popolulu, dan Sabongi bisa diterima dan digemari masyarakat.
Dan tau nggak, nonton acara talkshow ini di sore yang hujan itu bikin saya pengen nge-Go Food Nasi Kuning Cakalang dan Tuna Bala Rica. Biar ramah iklim, bungkus makanannya pake daun pisang aja. Trus abang gojeknya suruh naik sepeda pancal, gitu? Ngayal lu kejauhan, Rudolfo!
Balik lagi ke acara talkshow sore itu, kehadiran William Wongso sang pakar kuliner Indonesia adalah momen yang saya tunggu. Meski pada akhirnya sepanjang pemaparan beliau saya cuma bisa komentar ke layar laptop sambil ngecesss melihat foto-foto makanan yang beliau tampilkan.
Iya, saya takjub melihat tampilan binte biluhuta, asinan Jakarta, atau sayur kenikir yang di-plating begitu rupa. Sehingga tidak hanya terlihat cantik tapi juga berkelas. Luar biasa!
Satu hal yang saya garis bawahi dari pemaparan panjang beliau sore itu adalah, "di era sosial media dan internet seperti sekarang ini, satu hal yang tidak bisa kita lakukan adalah meng-googling rasa." Setuju banget, Om! Yang namanya explorasi rasa itu emang harus dicoba langsung. Jika ingin memperkenalkan suatu masakan, sebaiknya ceritakan juga latar belakang dari masakan itu beserta budayanya. Hal ini akan membuat orang jadi lebih tertarik.
Buku Cita Rasa Indonesia karya William Wongso
Sungguh, rasanya 2 jam setengah menyimak acara talkshow tentang Makanan Ramah Iklim yang dipandu oleh Food Traveler, Noni Zara, sore itu terasa sangat singkat. Saya sih berharap acara-acara seperti ini lebih sering diselenggarakan. Agar masyarakat lebih mengenal dan terbiasa dengan Pola Makan Ramah Iklim. Demi bumi yang sama-sama kita cintai ini.
0 komentar