Diana Cristiana Da Costa Ati, Bekerja dalam Diam Memberantas Buta Aksara di Pedalaman Papua
Saturday, November 09, 2024Anak-anak berseragam putih merah itu menghambur dari ruang kelas. Mereka berlarian sambil menyanyi dan tertawa bahagia. Kaki-kaki telanjang mereka bergerak lincah melintasi rawa-rawa. Perjalanan mereka untuk sampai ke sekolah ini tidaklah mudah. Mereka harus menempuh perjalanan selama berjam-jam melewati hutan dengan berjalan kaki. Diana Cristiana da Costa Ati menyaksikan pemandangan itu dari halaman sekolah dengan perasaan campur aduk. Diam-diam ia meneteskan air mata. Ibu guru muda itu tak kuasa menahan tangisnya.
Murid-murid SD Inpres Kaibusene berjalan tanpa alas kaki - dok. Diana Cristiana
Perempuan Berdarah Timor Leste yang Sangat Mencintai Indonesia
Belum genap seminggu Diana menjadi guru di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Tapi dalam hitungan hari itu, emosinya sudah diaduk-aduk. Diana menangis melihat kenyataan bahwa murid-murid di sana tidak mengenal identitas negara Indonesia. Mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Binatang Kejora. Mereka juga tidak hafal Pancasila. Bahkan murid kelas 6 pun tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sebagai orang yang sangat mencintai Indonesia, kenyataan ini membuat Diana sedih. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena memang bukan salah anak-anak itu kalau mereka tinggal di daerah terpencil dengan kondisi sekolah yang serba terbatas.
Diana lahir di Kota Dili, Timor Leste. Pada saat jajak pendapat tahun 1999, ayahnya yang berdarah Timor Leste memilih untuk kembali ke negaranya. Sementara Diana, memilih ikut ibunya kembali ke Atambua, Nusa Tenggara Timur. Meski pada saat referendum berlangsung umur Diana belum genap 2 tahun, tapi ia sudah bisa memilih. Bahkan dengan tegas Diana menyatakan bahwa merah putih adalah “warna kulitnya”, tak akan bisa dipisahkan sampai kapanpun.
Setelah tamat SMA Diana melanjutkan pendidikan ke Universitas Nusa Cendana di Kupang, NTT. Demi menunjukkan kecintaannya pada Indonesia, ia pun memilih jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Kecintaan pada Indonesia pula yang akhirnya membawa Diana menjadi tenaga pengajar di daerah terpencil.
Perjalanan Diana Sebagai Guru Penggerak Daerah Terpencil di Kabupaten Mappi
Diana Cristiana da Costa Ati, perempuan kelahiran Timor Leste ini adalah seorang guru yang memilih mengabdi di pedalaman Papua sejak tahun 2018 melalui program Guru Penggerak Daerah Terpencil. Program ini merupakan inisiatif dari Bupati Mappi periode 2017-2022, Kristosimus Yohanes Agawemu yang bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM).
Awalnya Diana bertugas selama 2 tahun di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, kegiatan belajar mengajar di Kaibusene pun terhenti karena para guru penggerak pulang ke kampung halaman masing-masing.
Diana enggan menyerah. Pada tahun 2021, Diana kembali ke Kabupaten Mappi dan menandatangani kontrak baru sebagai guru penggerak. Kali ini, oleh Bupati Mappi, Diana ditugaskan di Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Kondisinya tak jauh berbeda dengan Kampung Kaibusene. Keduanya termasuk dalam daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Murid-murid mendapat seragam sekolah - Dok. Diana Cristiana
Tantangan Terbesar Menjadi Guru Penggerak di Pedalaman Papua
Diana sadar, menjadi guru penggerak di desa terpencil tidaklah mudah. Bersama dua rekannya sesama guru penggerak di kampung itu, Fransiska Erlyansi Bere (Icha) dan Oktofianus Halla (Vian), Diana bertekad untuk mengabdi dengan sepenuh hati.
Belajar berhitung - Dok. Oktofianus Halla
Masalah terbesar bagi masyarakat pedalaman adalah masalah akses. Ini juga yang dirasakan oleh Diana dan kedua rekannya. Butuh perjuangan dan biaya yang tidak sedikit untuk menuju SDN Atti tempatnya mengajar.
Pilihan tercepat adalah dengan cara menggunakan moda transportasi yang berganti-ganti. 1 jam naik pesawat dari Merauke ke Kepi, ibukota Kabupaten Mappi. Dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 2 jam ke pelabuhan Agham. Dari pelabuhan Agham perjalanan dilanjutkan dengan naik perahu ketinting menyusuri Sungai Mappi selama 4 jam. Sampai di Khaumi, Kampung Atti masih harus berjalan kaki selama 2 jam untuk mencapai SDN Atti. Kalau ditotal, diperlukan waktu sekitar 9 jam perjalanan dari Merauke ke Kampung Atti. Sungguh perjalanan yang menguras tenaga, waktu, dan isi dompet. Bila memilih hanya menggunakan jalur darat saja, lama perjalanannya bahkan bisa lebih dari 23 jam.
Dari Kepi ke Agham - Dok. Oktofianus Halla
Diana naik perahu ketinting menyusuri Sungai Mappi - Dok. Diana
Tak heran bila banyak guru yang akhirnya menyerah dengan kondisi ini. Beberapa tahun lamanya SDN Atti terpaksa tutup karena sebagian besar guru memutuskan untuk tidak kembali ke sekolah. Tapi tidak dengan Diana. Karena sejak awal niatnya tulus ingin mengabdi. Diana meyakini, ada sejuta harapan yang akan dimulai dengan segala keterbatasan ini.
Keterbatasan Bukanlah Sebuah Batasan
Pertama kali menjejakkan kaki di SDN Atti Diana merasa kaget. Ternyata bukan hanya akses menuju sekolah saja yang berat. Kondisi bangunan sekolahnya pun cukup memprihatinkan. SDN Atti hanya mempunyai 3 ruang kelas untuk menampung murid dari kelas 1 sampai kelas 6. Sehingga seringkali mereka terpaksa dicampur dalam satu ruangan.
Meja dan kursi yang ada pun jumlahnya sangat terbatas dan sudah tak layak pakai. Sehingga murid-murid terpaksa duduk tanpa alas di lantai.
Tetap belajar meski duduk di lantai - Dok. Diana Cristiana
Yang tak kalah menyedihkan, bukan hanya sarana dan fasilitas sekolah yang kondisinya serba terbatas. SDN Atti juga kekurangan tenaga pengajar. Hanya ada 3 orang guru untuk 86 murid.
Kondisi sekolah yang serba kekurangan tak memupuskan semangat Diana dan kedua rekannya untuk memberantas buta huruf di Papua. Kalau bukan karena keikhlasan dari hati, pasti Diana dan kedua rekannya tak akan bertahan sampai sejauh ini.
Senyum yang membuat bertahan - Dok. Oktofianus Halla
“Saya bertahan karena ada senyuman di wajah mereka dan ada ketulusan di hati saya”, jawaban singkat Diana membungkam mereka yang mengejeknya karena masih bertahan dalam segala keterbatasan.
Ketika Kurikulum Nasional Tak Sesuai dengan Kondisi di Pedalaman
Buku-buku pelajaran kurikulum 13 yang dirancang oleh Dinas Pendidikan sangat sulit untuk dipahami oleh anak-anak Papua. Banyak materi yang tidak sesuai bila diterapkan pada anak-anak yang tinggal di pedalaman. Contohnya saja ketika ada pembahasan tentang alat transportasi kereta api di dalam buku. Anak-anak Papua yang belum pernah melihat kereta api pasti kesulitan untuk membayangkan seperti apa yang namanya kereta api ini?
Untuk menyiasati permasalahan ini, Diana membuat sendiri buku pelajaran yang sesuai dengan kondisi murid-murid di sana. Materi pelajaran itu ditulisnya sendiri dengan tangan kemudian ia bagikan kepada murid-muridnya.
Belajar membaca - Dok. Oktofianus Halla
Bukannya tidak ingin mengikuti kurikulum yang sudah dirancang oleh Dinas Pendidikan. Tapi memang kondisinya yang tidak sesuai untuk diterapkan di pedalaman. Daripada harus merutuki keadaan, Diana lebih memilih cara lain yang lebih mudah dan menyenangkan bagi anak-anak didiknya. Dan metode pembelajaran terbaik bagi anak-anak Papua adalah belajar sambil bermain di alam. Mereka lebih mudah menghafal perkalian sambil memetik mangga. Mereka lebih mudah berhitung sambil memancing ikan di rawa-rawa. Bahkan mereka lebih mudah belajar bahasa Inggris melalui doa sehari-hari.
Mengubah Pola Pikir Masyarakat pun Menjadi Tantangan Tersendiri
Kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya pendidikan juga merupakan tantangan tersendiri bagi Diana dan kedua rekannya. Karena menurut pola pikir masyarakat Papua, tingkat kesuksesan anak Papua itu bukan ketika mereka bisa membaca dan berhitung. Tapi anak Papua dianggap sukses ketika mereka bisa berburu, bisa mengolah sagu, bisa membawa tombak, dan bisa memelihara babi.
Makanya Diana juga melakukan pendekatan pada para orang tua murid. Memberi pengertian tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak Papua. Bukan hal yang mudah mengubah suatu bentuk pola pikir yang sudah tertanam sejak lama. Tapi melihat kemajuan anak-anak, para orang tua pun senang. Anak-anak Kampung Atti yang awalnya tidak mengenal huruf pelan-pelan jadi bisa membaca dan berhitung. Mereka pun mulai nyambung bila diajak berbicara karena sudah memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik. Anak-anak itu juga jadi mudah menghafal perkalian dan memiliki pengetahuan umum yang baik.
Mereka sudah pandai membaca - Dok. Diana
Dalam setahun sejak kedatangan Diana dan kedua rekannya di Kampung Atti, sekitar 24 murid dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP di kota. Tak hanya itu, anak-anak yang sekarang sudah duduk di bangku SMP bahkan bisa meraih peringkat 10 besar di kelasnya.
Senyum bahagia karena sudah pandai berhitung - Dok. Diana
Para warga Kampung Atti pun ikut mendukung perjuangan Diana dan teman-temannya dengan cara sederhana sesuai dengan yang mereka mampu. Mereka kerap mengirim bahan makanan seperti singkong, ulat sagu, dan lain-lain untuk Diana dan dua rekannya. Bahkan tiap pagi warga menyuruh anak-anaknya menimbakan air di sumber untuk para guru tersebut. Sederhana memang. Tapi jelas terlihat ketulusan mereka. Hal inilah yang membuat Diana dan kedua rekannya betah tinggal di pedalaman.
Menurut pengakuan Oktofianus Halla, warga Kampung Atti memperlakukan mereka seperti anak emas. Apa yang mereka sampaikan pasti didengar oleh seluruh warga.
Bahkan ketika sakit, warga Kampung Atti lebih percaya meminta obat pada mereka dibanding pada tenaga kesehatan. Ketulusan warga ini jadi pengalaman paling berkesan yang akan selalu diingat oleh para guru yang mengabdi di pedalaman Papua.
Mengabdi Sepenuh Hati Demi Mimpi Anak-anak Mappi
Pernah ada seorang anak berkata seperti ini, “Ibu guru, saya sudah capek seperti ini. Saya mau naik pesawat seperti bapak-bapak di Jakarta. Mereka naik mobil mewah, sedangkan saya tidak pernah. Mereka tidur di atas spons (busa/kasur), sedangkan saya tidur di para-para (gazebo bambu). Saya mau minum air bersih. Saya mau jadi orang hebat…”
Diana percaya, anak-anak Papua mempunyai mimpi yang luar biasa. Karena itu ia dan kedua rekannya tak pernah lelah mengusahakan apapun demi terwujudnya mimpi anak-anak di pedalaman Mappi.
Salah satu usahanya adalah dengan mendirikan perpustakaan di rumahnya yang diberi nama Perpustakaan Merah Putih. Ada sekitar 500 buku yang disediakan untuk warga Kampung Atti. Sebagian besar dari buku-buku itu bertema Indonesia, nasionalisme, cerita pahlawan, juga ideologi Pancasila. Perpustakaan ini dibuka setiap hari mulai pukul 16.00 WIT. Siapa saja boleh ikut belajar dan membaca buku di sana.
Belajar menggunakan komputer - Dok. Oktofianus Halla
Walaupun penuh perjuangan, Diana tak pernah merasa menyesal. Baginya, kebahagiaan sejati adalah ketika ia melihat perubahan kecil dalam diri anak-anak dan masyarakat. Ada momen-momen ketika ia melihat anak-anak mulai berani bermimpi, berbicara tentang cita-cita, dan belajar membaca meskipun awalnya sulit. Setiap pencapaian kecil menjadi alasan baginya untuk bertahan.
Karena Membaca dan Menulis Saja Tidak Cukup
Diana dan guru-guru di SDN Atti tidak hanya mengajarkan membaca, menulis dan berhitung pada anak-anak. Tapi mereka juga dibekali dengan berbagai macam life skill agar kelak mereka bisa mempunyai keahlian lain untuk bertahan hidup. Misalnya saja menanam sayuran seperti kacang panjang, bayam, juga kangkung. Mereka belajar mulai dari menanam, merawat, hingga panen. Setiap habis panen, para guru memasakkan makanan untuk mereka nikmati bersama di dalam kelas.
Belajar bercocok tanam - Dok. Oktofianus Halla
Di lain waktu mereka juga belajar bagaimana membuat minuman kelapa. Setelah jadi, mereka berkumpul dan meminumnya bersama-sama. Sederhana, tapi sangat berkesan dan sudah pasti bermanfaat.
Diana juga pernah mengajarkan salah seorang murid membuat pisang goreng. Karena si murid ini protes melihat ada pendatang yang menjual pisang goreng dengan harga cukup mahal.
“Saya selalu berpesan agar mereka tidak sekadar protes. Kalau mereka mau seperti pendatang itu, saya akan ajari mereka membuat pisang goreng”, kata Diana.
Akhirnya murid tersebut membuat pisang goreng sendiri dan menjualnya di sekolah. Sungguh beruntung murid-murid SDN Atti yang mempunyai guru seperti Ibu guru Diana, Ibu guru Icha, dan Bapak guru Vian.
Apresiasi untuk yang Berdedikasi
“Penghargaan ini sebagai Langkah awal bagi saya dan rekan rekan saya untuk lebih giat lagi mau tinggal di pedalaman. Dan sebenarnya saya rasa sampai saat ini adalah luar biasa. Pedalaman itu membuat saya sadar bahwa berbagi itu tidak selamanya hanya dari kelebihan. Tetapi dari kekurangan itu sendiri kita bisa berbagi,” ungkap Diana dalam acara puncak Astra Satu Awards 2023.
Diana mendapat penghargaan dari Astra Satu Indonesia Awards 2023 - Dok. Diana
Dedikasi Diana untuk mengabdi dengan sepenuh hati di pedalaman Mappi sudah selayaknya mendapatkan apresiasi. Pada tahun 2023 lalu, Diana mendapat penghargaan dari Astra Satu Indonesia Awards di bidang pendidikan.
Satu Indonesia Awards adalah wujud apresiasi dari Astra untuk anak-anak bangsa yang sudah banyak berkontribusi secara nyata dan atas inisiatif sendiri demi kehidupan yang berkelanjutan di bidang-bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, kewirausahaan dan juga teknologi. Salah satunya adalah seperti Diana Cristiana Da Costa Ati. Seorang pejuang pendidikan yang tulus mengabdikan diri untuk negeri tercintanya.
Secercah Harapan untuk Masa Depan Anak-anak di Pedalaman
Diana percaya bahwa anak-anak Papua memiliki potensi luar biasa yang hanya perlu disentuh dengan pendidikan yang tulus. Ia menyadari bahwa perubahan tak datang seketika, tetapi ia tetap bertekad untuk melanjutkan perjuangannya.
Diana berharap ada lebih banyak guru seperti dirinya yang mau datang dan tinggal di pedalaman, membawa harapan bagi anak-anak yang selama ini jauh dari jangkauan pendidikan.
Bapak guru Vian bersama murid-muridnya - Dok. Oktofianus Halla
Dalam hati, Diana menyimpan harapan besar. Ia ingin melihat murid-muridnya suatu hari menjadi dokter, guru, atau apa pun yang mereka inginkan. Di balik semua kesulitan yang dihadapinya, Diana tahu bahwa setiap langkah yang ia tempuh adalah jalan menuju perubahan, dan ia bangga menjadi bagian dari perjalanan itu.
Bagi Diana Cristiana Da Costa Ati, mengajar di pedalaman Papua bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa. Sebuah perjuangan untuk menyemai mimpi di tanah yang belum tersentuh, dengan harapan yang tak pernah padam.
Diana bersama murid-muridnya - Dok. Diana
“Pendidikan adalah paspor masa depan bagi mereka yang mempersiapkannya hari ini. Jadi mari anak muda ikut terjun ke pedalaman. Tengoklah adik-adik di sana yang masih sangat membutuhkan guru. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Membangun Indonesia tidak harus dari kota. Saya percaya, dengan turut berpartisipasi dari hal-hal kecil di pedalaman, efeknya di masa depan akan sangat luar biasa. Bersama-sama kita berkarya demi pendidikan yang berkelanjutan di seluruh pelosok negeri tercinta ini”, pesan Diana menutup obrolan kami.
Referensi:
- Wawancara online dengan Diana Cristiana Da Costa Ati
- Wawancara online dengan Oktofianus Halla
- https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
- https://www.hidupkatolik.com/2022/02/04/58867/diana-cristina-da-costa-ati-mimpi-guru-di-pedalaman-papua.php
- https://youtube.com/@gurupenggerakpedalamanpapua937
- Instagram Diana Cristiana @diana_cristiana_da_costa
- Instagram Oktofianus Halla @hall_viann
0 komentar