Benteng Belgica: Sang Penjaga Banda yang Menolak Dilupakan
Sunday, March 23, 2025Langkah kakiku menggema di antara dinding batu yang dingin. Angin laut bertiup pelan, membawa aroma asin dan rempah-rempah yang seakan masih tercium dari masa lalu. Dari puncak benteng ini, Laut Banda terbentang luas, biru dan tak berujung. Aku berdiri di Benteng Belgica, sebuah saksi bisu kejayaan, pertempuran, dan tragedi yang pernah mengguncang Kepulauan Banda.
Salah satu sudut Benteng Belgica
Di sinilah, lebih dari 400 tahun lalu, Belanda mengukuhkan kekuasaannya atas perdagangan rempah dunia. Di sinilah, ribuan jiwa pribumi Banda berjuang mempertahankan tanah mereka dari tangan penjajah. Dan kini, benteng ini berdiri kokoh, menolak dilupakan oleh sejarah.
Dari Portugis, Belanda, hingga Napoleon
Benteng Belgica bukan hanya sekadar bangunan tua yang terbengkalai. Ia menyimpan jejak perjalanan panjang bangsa-bangsa yang pernah datang ke Banda.
Awalnya, Portugis yang pertama kali membangun benteng kecil di Banda pada awal abad ke-16. Namun, ketika Belanda datang pada tahun 1599, mereka tak hanya ingin berdagang—mereka ingin menguasai Banda sepenuhnya. Pada tahun 1611, Gubernur Jenderal Pieter Both membangun benteng ini di atas bukit untuk mengawasi seluruh Banda Neira.
Lukisan Pieter Both di Rumah Budaya Banda
Tapi bukan hanya Belanda yang menginginkan Banda. Inggris, Spanyol, dan bahkan Napoleon Bonaparte pun pernah mencium potensi benteng ini. Pada awal abad ke-19, ketika Prancis menguasai Belanda, pasukan Inggris datang dan merebut Banda dari tangan Belanda yang saat itu berada di bawah kendali Napoleon. Benteng Belgica pun jatuh ke tangan Inggris selama beberapa tahun, sebelum akhirnya dikembalikan ke Belanda setelah perang usai.
Benteng Bintang yang Tak Terkalahkan
Benteng Belgica tampak dari luar
Dari luar, Benteng Belgica terlihat seperti benteng biasa. Tapi begitu melangkah ke dalam, aku sadar bahwa desainnya bukan main-main.
Miniatur Benteng Belgica di Rumah Budaya Banda
Benteng ini berbentuk segi lima dengan lima bastion di sudutnya, sebuah desain militer bergaya star fort yang terkenal sulit ditembus. Dindingnya tebal, sudut-sudutnya didesain agar sulit diserang dengan meriam, dan dari atasnya, pasukan bisa melihat pergerakan musuh dari segala arah.
Pemandangan dari atas Benteng Belgica
Konon, Benteng Belgica begitu kuat hingga disebut sebagai benteng yang ‘tak bisa ditaklukkan’. Namun, sejarah membuktikan bahwa kekuatan sejati sebuah benteng bukan hanya terletak pada temboknya, tetapi juga pada orang-orang yang menghuninya.
Tragedi Banda: Saat Benteng Menjadi Saksi Pembantaian
Pada tahun 1621, Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang terkenal kejam, datang ke Banda dengan satu tujuan: menguasai seluruh perdagangan pala dan menghapus segala bentuk perlawanan pribumi.
Meriam di atas Benteng Belgica
Coen menganggap orang Banda terlalu ‘bandel’ karena mereka masih berdagang dengan bangsa lain, termasuk Inggris dan Portugis. Maka, dengan dalih memberantas ‘pemberontakan’, ia melancarkan salah satu aksi paling brutal dalam sejarah Nusantara: pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Banda.
Lebih dari 14.000 orang Banda dibantai atau dijadikan budak. Yang tersisa hanya sekitar 1.000 orang, yang kemudian dipekerjakan paksa di perkebunan pala milik VOC. Setelah tragedi ini, Belanda mendatangkan orang-orang dari Jawa, Sulawesi, dan daerah lain untuk mengisi Banda yang nyaris kosong.
Benteng Belgica menjadi saksi semua itu. Dari dinding-dindingnya yang kokoh, ia melihat darah yang tertumpah, keluarga yang tercerai-berai, dan perubahan Banda selamanya.
Benteng Belgica dalam Genggaman: Ikon di Mata Uang Rupiah
Jika kamu pernah memperhatikan uang kertas pecahan seribu rupiah edisi terbaru, ada gambar yang mungkin tak asing: Benteng Belgica. Terukir di sana, benteng ini menjadi simbol warisan sejarah Indonesia yang tak boleh dilupakan. Kehadirannya di mata uang rupiah bukan sekadar penghias, tetapi pengingat bahwa Kepulauan Banda pernah menjadi pusat peradaban dunia karena rempah-rempahnya.
Benteng Belgica, dengan bentuk bintang khasnya, mewakili kisah perjuangan, kolonialisme, dan ketahanan masyarakat Banda. Saat menggenggam lembaran uang itu, kita sebenarnya tengah menggenggam sepotong sejarah yang pernah mengguncang dunia.
Mencari posisi terbaik
Dan gara-gara uang seribu rupiah ini, aku sampai 2 kali datang ke Benteng Belgica. Waktu datang pertama kali, aku sama sekali gak kepikiran buat bawa uang seribu rupiah. Pas sudah pulang, baru kepikiran. Akhirnya besok sorenya kembali lagi cuma demi mencari lokasi yang tepat seperti yang tergambar di uang seribu rupiah. Iya, seniat itu…
Naik turun tangga kayak gini cuma buat motret uang seribu rupiah 😄
Benteng Belgica Hari Ini: Sunyi, Megah, dan Tetap Menawan
Hari ini, Benteng Belgica tak lagi diisi oleh serdadu bersenjata atau meriam siap tembak. Yang ada hanya wisatawan yang datang untuk mengagumi keindahannya dan penduduk lokal yang sesekali beristirahat di sudut-sudutnya.
Aku melangkah naik ke salah satu bastionnya, menatap Banda Naira dari ketinggian. Di bawah sana, atap-atap rumah berwarna merah bata menyatu dengan hijaunya pohon pala dan laut yang membentang luas.
Benteng ini masih berdiri, megah, seolah menantang waktu untuk menjatuhkannya. Tak peduli berapa abad telah berlalu, ia tetap ada, menjadi penjaga sunyi yang menyimpan kisah kejayaan dan tragedi Banda.
Bulan purnama di atas Benteng Belgica
Dan di sinilah aku, berdiri di antara sejarah yang nyaris terlupakan, menghirup udara yang sama dengan mereka yang datang berabad-abad sebelumku. Benteng Belgica, kau memang tak terkalahkan, bukan hanya oleh musuh, tetapi juga oleh waktu.
0 komentar