Pulau Rhun, Sepetak Surga di Banda yang Pernah Ditukar dengan Manhattan
Sunday, March 16, 2025Angin laut menerpa wajah saat kapal kayu kecil yang kutumpangi membelah perairan Banda. Dari kejauhan, Pulau Rhun tampak seperti pulau biasa—hijau, dikelilingi hamparan laut, dan sepi. Tapi di balik ketenangannya, pulau ini menyimpan kisah luar biasa yang hampir terlupakan.
Island hopping
Tak banyak yang tahu, tempat kecil ini pernah menjadi pusat pertarungan dua kekuatan besar: Inggris dan Belanda. Bahkan, sejarah dunia pernah berubah karena sepetak tanah ini.
Ketika Pala Lebih Berharga dari Emas
Di abad ke-17, dunia mengalami demam rempah. Bangsa Eropa rela bertaruh nyawa, berlayar berbulan-bulan, dan berperang hanya demi satu hal: pala. Ya, rempah kecil ini dulu lebih berharga dari emas.
Pala
Saat itu, Kepulauan Banda adalah satu-satunya tempat di dunia yang menghasilkan pala. Belanda, yang menguasai sebagian besar Banda, sangat ingin memonopoli perdagangan ini. Tapi ada satu masalah: Pulau Rhun sudah lebih dulu dikuasai Inggris.
Kulit pala yang dijemur
Bayangkan, pada tahun 1603, Inggris tiba di pulau ini dan menjadikannya koloni pertama mereka di Nusantara. Mereka membangun benteng, berdagang dengan penduduk lokal, dan mencoba melindungi pulau ini dari Belanda. Tapi Belanda tidak tinggal diam.
Pertempuran Berdarah dan Tragedi di Banda
Pulau Rhun
Belanda, yang tak mau kehilangan satu pun pulau pala, menyerang Banda Naira habis-habisan. Perang berkecamuk, tak hanya di Pulau Rhun, tapi juga di seluruh Kepulauan Banda. Pada tahun 1621, Jenderal Jan Pieterszoon Coen memimpin serangan brutal ke Banda Besar, membantai hampir seluruh penduduk asli Banda. Mereka yang selamat dijadikan budak atau melarikan diri ke daerah lain.
Tapi Pulau Rhun masih berada di tangan Inggris. Selama bertahun-tahun, kedua bangsa ini terus bersaing memperebutkan pulau kecil ini, hingga akhirnya mereka lelah bertempur dan memilih menyelesaikan masalah di meja perundingan.
Manhattan atau Pulau Rhun?
Pada tahun 1667, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Breda. Dalam perjanjian ini, Inggris setuju menyerahkan Pulau Rhun kepada Belanda. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan sebuah pulau yang saat itu dianggap kurang berharga: Nieuw Amsterdam.
Pulau itu? Sekarang kita mengenalnya sebagai Manhattan.
Ya, Pulau Rhun, sepetak tanah kecil di Laut Banda, pernah ‘ditukar’ dengan salah satu kota terbesar dan paling berpengaruh di dunia saat ini.
Rhun Hari Ini, Sepotong Surga yang Terlupakan
Hari ini, Pulau Rhun jauh dari hingar-bingar sejarahnya. Tak ada lagi pertempuran sengit atau perdagangan rempah yang membuat dunia gempar. Yang tersisa hanya pulau kecil yang tenang, dengan penduduk yang hidup dari hasil laut dan perkebunan pala.
Pulau Rhun
Saat menatap pulau ini dari atas kapal, aku bisa menyaksikan betapa pulau kecil ini begitu tenang dan sunyi. Dari jauh aku bisa merasakan betapa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Ada rumah-rumah kayu sederhana, sebuah masjid besar, makam-makam kuno yang dipenuhi lumut, dan pohon-pohon pala yang masih tumbuh subur, seperti saksi bisu kejayaan masa lalu.
Aku masih asyik menatap Pulau Rhun. “Dulu, nenek moyang kita tak pernah tahu kalau tanah ini begitu berharga,” kata Bang Lukman sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk, masih sulit percaya bahwa pulau yang tenang ini pernah jadi rebutan dunia.
Saat matahari mulai beranjak ke barat, aku duduk di haluan kapal yang bergerak semakin jauh meninggalkan Pulau Rhun.
Di atas kapal bareng Bang Berry. Sudah sore, waktunya pulang.
Pulau Rhun mungkin bukan Manhattan. Ia tak dipenuhi gedung pencakar langit atau lampu neon yang berkilauan. Tapi ia punya sesuatu yang lebih berharga: kisah luar biasa yang tak banyak orang tahu.
Dan mungkin, justru itulah yang membuatnya begitu istimewa.
0 komentar