Rasanya baru aja kita bisa nikmatin tidur diatas kasur, bukan meringkuk seperti kemarin2 di dalem bis, eh alarm di HP ku sudah berbunyi. Seperti yang sudah disampaikan petugas hotel semalam, bahwa kami akan dijemput jam 8 pagi di hotel untuk kemudian dibawa ke Ao Nang, untuk kemudian naik speed boat menuju Phi phi island.
Sekitar pukul 3 bis yang kami naiki berhenti di sebuah rumah makan di daerah perbatasan antara Malaysia dan Thailand. Semua penumpang turun untuk makan, ke toilet atau sekedar melemaskan otot2 setelah sekian lama duduk di dalam bis. Sebelum turun dari bis setiap penumpang diminta untuk mengumpulkan paspor. Rupanya untuk keperluan mengisi form white card atau kartu imigrasi Thailand, jadi kita ga perlu susah2 lagi ngisi white card.
Pas lagi bongkar2 file di laptop, eh nemu cerita ini... Yang sebenernya merupakan cerita perjalananku di bulan November 2009 kemaren. Udah lama juga sih..., tapi karena belom di posting jadi aku posting sekarang aja deh...
===========================================================
Prolog : Perjalanan ini tercipta dari obrolan iseng di sebuah warung mi ayam di Panbil, Batam. Awalnya Ika yang pengen banget bisa backpackeran ke negara tetangga. Maka keluarlah ide2 gila dari kami (aku, Oke, Ika n Dayu) Akhirnya kami sepakat menjadikan Thailand sebagai tujuan kali ini. Mulai lah kami browsing berbagai info di internet. Dan setelah semua siap, tiba2 Dayu n Ika memilih gak jadi pergi. karena ada hal lain yang gak memungkinkan mereka untuk pergi.. Hal ini sempat membuat aku n Oke ragu, terus atau ikut mundur..?! Tapi karena udah terlanjur semangat n udah keburu apply cuti, akhirnya aku n Oke tetep berangkat walaupun cuma berdua aja...
sharing catatan bang Rafael Andrian Ricardo
October 31 at 6:02pm
Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.
Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah.
Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”
Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!
Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.
Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir.
Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!!
Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.
Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri.
Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya.
Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.
Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya.
Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akkembali ke urat akar di mana dia hidup.
Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak.
Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.
Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.
Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah.
Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini.
Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.
- copas dari message group Petualang Indonesia yg di posting oleh mas Aji -
Waktu main ke rumah Sioux beberapa hari yang lalu, aku sempat 'ketemu' ama si kecil ini. Kalau dilihat sekilas, bentuknya emang mirip ama cacing. Tapi kalo diperhatiin bener2, baru deh keliatan bedanya...
Si kecil ini tubuhnya bersisik dan tidak berlendir. Cara bergeraknya juga seperti ular pada umumnya, membentuk gerakan spiral.
Si kecil ini tubuhnya bersisik dan tidak berlendir. Cara bergeraknya juga seperti ular pada umumnya, membentuk gerakan spiral.
narsis ama si albino
Phyton adalah salah satu jenis
ular berpostur besar yang kalau di masyarakat Indonesia sering dinamai dengan
ular sanca, ular sawa atau juga ular sowo (jawa).
Ular phyton banyak ragamnya, dari jenis yang kecil hingga ular
besar yang mencapai ukuran 8 meter lebih di alam liar. Di Indonesia, Phyton reticulatus
adalah jenis ular raksasa yang paling gampang ditemui. Banyak kasus dan laporan
tertangkapnya ular jenis ini bahkan di pelosok kota metropolitan seperti
Jakarta. Got, lubang ditanah, atap rumah, kebun belakang pabrik, selokan,
hingga sungai tercemar yang menembus kota jakarta pun menjadi alternatif
perlindungan buat phyton.